java script

Senin, 10 Mei 2010

Sekilas mengenai sukuk ijarah

Sekilas Mengenai Sukuk Ijarah

Semenjak disahkannya undang-undang sukuk oleh DPR pada 10 April 2008 lalu,pemerintah mulai mempersiapkan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara(SBSN) perdana yang rencananya akan ditawarkan di dalam negeri bulan Agustus2008 dan ke luar negeri bulan Oktober 2008 (Humas Depkeu). Kenyataan inipatut disambut gembira oleh kita semua dan merupakan salah satu wujud nyatadukungan pemerintah dan anggota dewan bagi perkembangan perbankan syariah ditanah air. Berita-berita yang menyebutkan bahwa investor timur tengah sangatberminat untuk menanamkan dananya di dalam negeri, *insya Allah* akan dapatsegera terealisasi melalui rencana penerbitan SBSN. Mengetahui bahwa SBSNini akan menggunakan akad ijarah, tulisan ini mencoba memberikan gambaransingkat kepada pembaca mengenai sukuk ijarah.Kata *Al ijarah* sendiri berasal dari kata *Al ajru* yang berarti *Al'Iwadhu *(ganti) sedangkan menurut pengertian syara, *Al Ijarah* adalahsuatu jenis akad untuk mengambil manfaat suatu barang dengan jalanpenggantian.

Beberapa contoh kontrak ijarah (pemilikan manfaat) seperti (a)Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah untuk ditempati, atau mobiluntuk dikendarai, (b) Manfaat yang berasal karya seperti hasil karya seoranginsinyur bangun¬an, tukang tenun, tukang pewarna, penjahit, dll (c) Manfaatyang berasal dari skill/keahlian individu seperti pekerja kantor, pembanturumah tangga, dll. Sementara itu, menyewakan pohon untuk dimanfaatkanbuahnya, menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan termasuk kategoriijarah karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecualibarang-barang tersebut akan habis dikonsumsi.Adapun landasan hukum ijarah dari Al-Qur'an dapat ditemukan antara lain padaSurah Az-Zuhruf ayat 32, Surah Al-Baqarah ayat 233, dan Surah Al-Qashashayat 26 dan 27. Sedangkan landasan hukum yang berasal dari Hadits Nabi SAWantara lain Hadits Al-Bukhari yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernahmenyewa seseorang dari Bani Ad-Diil bernama Abdullah bin Al Uraiqith sebagaipetunjuk jalan yang professional.Sementara mengenai sukuk, secara umum sukuk didefinisikan sebagai sertifikatpertisipasi Islami yang dapat diperdagangkan berdasarkan kepemilikan danpertukaran dari asset yang disepakati bersama (*Handbook of Islamic Banking*,2007).

Khusus untuk sukuk ijarah, kontrak yang mendasarinya adalah ijarahyaitu sewa menyewa (*leasing*) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Sebagaimana ketentuan transaksi bisnis syariah yang membedakannya denganketentuan transaksi bisnis konvensional, kegiatan sukuk ijarah tidak bolehbertentangan dengan syariah seperti : (a) Usaha perjudian dan permainan yangtergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (b) Usaha lembaga keuangankonvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (c)Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan danminuman haram; (d) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan ataumenyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifatmudarat (Fatwa No. 20 DSN-MUI/IV/2001).

Selain itu, keuntungan yang akandibagikan oleh penerbit sukuk ijarah harus bersumber dari hasilusaha/pengelolaan sukuk ijarah itu sendiri.Untuk dapat melakukan kontrak sukuk berbasis ijarah, para investor, penerbitsukuk dan pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratantertentu. Pertama, kedua belah pihak yang akan melakukan akad harusberkemampuan dan berakal. Kedua, akil baligh sebagaimana yang disyaratkanoleh Imam Asy Syafi'i dan Hambali. Sehingga berakad dengan anak kecildinyatakan tidak sah. Kemudian, agar transaksi berbasis ijarah tersebutmenjadi sah (valid), diperlukan pula sejumlah ketentuan tambahan. Pertama,adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan akad sebagaimana FirmanAllah SWT pada Surah An-Nisa ayat 29. Kedua, mengetahui secara sempurnamanfaat dari barang yang menjadi objek akad antara lain untuk mencegahterjadinya perselisihan. Ketiga, barang atau asset yang menjadi objek akaddapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria, realita dan syara. Imam Hanafimenambahkan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi (tidak dalamkeadaan lengkap) tidak dapat diperbolehkan, sebab manfaat kegunaannya tidakdapat ditentukan. Keempat, aset tersebut sudah jelas, nyata dan dimilikipenerbit sukuk sehingga dapat disewakan untuk diambil manfaatnya. Menyewakanbinatang buruan (masih dalam perburuan), tanah tandus atau menyewakanbinatang lumpuh yang tidak dapat diserahkan tidak dibenarkan secara syariahkarena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi obyek dari akad ini.Terakhir, sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang diharamkan.Menyewakan asset yang akan digunakan untuk memproduksi minuman keras, tempatberjudi, dll tidak dibenarkan dalam syariah dan kontrak ijarah yangdilakukan menjadi *ijarah fasid. ** *Hal terakhir yang spesifik dan layak diketahui dari sukuk ijarahadalah kontrak ini dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yangditentukan oleh kekuatan pasar.

Kegiatan ekonomi, investasi serta risikoyang berhubungan dengan kesanggupan penyewa untuk membayar harga sewa sertabiaya penjaminan dan pemeliharaan asset menentukan harga sukuk ijarah dipasar keuangan. Namun demikian, sukuk ijarah menawarkan suatu bentuk suratberharga yang fleksible dan marketable dibandingkan jenis sukuk lainnya.Pendanaan proyek-proyek pemerintah melalui instrumen ini diharapkan dapatmenjadi langkah awal dari terbitnya sukuk jenis lainnya di Indonesia sepertisukuk mudarabah, sukuk musharakah, salam sukuk, dll. *Waallohu'alambisawwab.** **Muhammad Fadlillah (PhD student bidang Economics & Finance, Tula StateUniversity, Rusia).**Rifki Ismal (PhD student bidang Islamic Finance, Durham University,Inggris)*

Reksa Dana Syariah

REKSA DANA SYARIAH

A.Pengertian
Reksadana diartikan sebagai wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat investor untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Reksa dana merupakan investasi campuran yang menggabungkan saham dan obligasi dalam satu produk.
Sedang Reksa Dana Syariah merupakan sarana investasi campuran yang menggabungkan saham dan obligasi syariah dalam satu produk yang dikelola oleh manajer investasi. Manajer investasi menawarkan reksa dana syariah kepada para investor yang berminat, sementara dana yang diperoleh dari investor tersebut dikelola oleh manajer investasi untuk ditanamkan dalam saham atau obligasi syariah yang dinilai menguntungkan.

B.Keuntungan investasi melalui Reksa Dana

1.Diversifikasi investasi
Divesifikasi yang terwujud dalam bentuk portofolio akan menurunkan tingkat risiko. Reksa dana melakukan diversifikasi dalam berbagai instrumen efek, sehingga dapat menyebarkan risiko atau memperkecil risiko. Investor walaupun tidak memiliki dana yang cukup besar dapat melakukan diversifikasi investasi dalam efek sehingga dapat memperkecil risiko. Hal ini berbeda dengan pemodal individual yang misalnya hanya dapat membeli satu atau dua jenis efek saja.

2.Kemudahan Investasi
Reksa dana mempermudah investor untuk melakukan investasi di pasar modal. Kemudahan investasi tercermin dari kemudahan pelayanan administrasi dalam pembelian maupun penjualan kembali unit penyertaan. Kemudahan juga diperoleh investor dalam melakukan reinvestasi pendapatan yang diperolehnya sehingga unit penyertaannya dapat terus bertambah.

3. Efisiensi biaya dan waktu
Karena reksa dana merupakan kumpulan dana dari banyak investor, maka biaya investasinya akan lebih murah bila dibandingkan dengan jika investor melakukan transaksi secara individual di bursa. Pengelolaan yang dilakukan oleh manajer investasi secara profesional, tidak perlu bagi investor untuk memantau sendiri kinerja investasinya tersebut.

4. Likuiditas
Pemodal dapat mencairkan kembali saham/unit penyertaan setiap saat sesuai ketetapan yang dibuat masing-masing reksa dana, sehingga memudahkan investor untuk mengelola kasnya. Reksa dana wajib membeli kembali unit penyertaannya, sehingga sifatnya menjadi likuid.


5.Transparansi Informasi
Reksa dana diwajibkan memberikan informasi atas perkembangan portofolio dan biayanya, secara berkala dan kontinyu, sehingga pemegang unit penyertaan dapat memantau keuntungan, biaya dan risikonya.

C.Risiko Investasi dengan Reksa Dana

1.Risiko berkurangnya nilai unit penyertaan
Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga dari efek (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya) yang masuk dalam portofolia reksa dana tersebut.

2. Risiko Likuiditas
Risiko ini menyangkut kesulitan yang dihadapi manajer investasi jika sebagian besar pemegang unit melakukan penjualan kembali (redemption) atas unit-unit yang dipegangnya. Manajer investasi akan mengalami kesulitan dalam menyediakan uang tunai atas redemption tersebut.

3.Risiko politik dan ekonomi
Perubahan kebijakan ekonomi politik dapat mempengaruhi kinerja bursa dan perusahaan sekaligus. Dengan demikian harga sekuritas akan terpengaruh yang kemudian mempengaruhi portofolio yang dimiliki reksa dana.

4.Risiko Pasar
Hal ini terjadi karena nilai sekuritas di pasar efek memang berfluktuasi sesuai dengan kondisi ekonomi secara umum. Terjadinya fluktuasi di pasar efek akan berpengaruh langsung pada nilai bersih portofolio, terutama jika terjadi koreksi atau pergerakan negatif.

5.Risiko Inflasi
Terjadinya inflasi akan menyebabkan menurunnya total real return investasi. Pendapatan yang diterima dari investasi dalam reksa dana bisa jadi tidak dapat menutup kehilangan karena menurunnya daya beli (loss of purchasing power).

6.Risiko Nilai Tukar
Risiko ini dapat terjadi jika terdapat sekuritas luar negeri dalam portofolio yang dimiliki. Pergerakan nilai tukar akan mempengaruhi nilai sekuritas yang termasuk foreign invesment setelah dilakukan konversi dalam mata uang domestik.

7.Risiko Spesifik
Risiko ini adalah risiko dari setiap sekuritas yang dimiliki. Disamping dipengaruhi pasar secara keseluruhan, setiap sekuritas mempunyai risiko sendiri-sendiri. Setiap sekuritas dapat menurun nilainya jika kinerja perusahaannya sedang tidak bagus, atau juga adanya kemungkinan mengalami default, tidak dapat membayar kewajibannya.

Dilihat dari portofolio investasinya atau kemana kumpulan dana diinvestasikan, reksa dana dapat dibedakan menjadi:

1. Reksa Dana Pasar Uang (Money Market Fund)
Reksa dana jenis ini hanya melakukan investasi pada efek bersifat utang dengan jatuh tempo kurang dari satu tahun. Tujuannya adalah untuk menjaga likuiditas dan memelihara modal.

2. Reksa Dana Pendapatan Tetap (Fixed income fund)
Reksa dana jenis ini melakukan investasi sekurang-kurangnya 80% dari aktivanya dalam bentuk efek bersifat utang. Reksa dana ini memiliki risiko yang relatif lebih besar dari pada Reksa Dana Pasar Uang. Tujuannya adalah untuk menghasilkan tingkat pengembalian yang stabil.

3. Reksa Dana Saham (Equty Fund)
Reksa dana yang melakukan investasi sekurang-kurangnya 80% dari aktivanya dalam bentuk efek bersifat ekuitas. Karena investasinya dilakukan pada saham, maka risikonya lebih tinggi dari dua jenis reksa dana sebelumnya namun menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi.

4. Reksa Dana Campuran (Discretionary Fund)
Reksa dana jenis ini melakukan investasi dalam efek bersifat ekuitas (contoh: saham) dan efek bersifat utang (contoh: obligasi).

Reksa Dana Syariah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kelompok investor yang menginginkan memperoleh pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih yang dapat dipertanggungjawabkan secara religius yang memang sejalan dengan prinsip syariah.
Reksa Dana Syariah dapat mengambil bentuk seperti reksa dana konvensional. Namun memiliki perbedaan dalam operasionalnya, dan yang paling tampak adalah proses screening dalam mengontruksi portofolio. Filterisasi menurut prinsip syariah akan mengeluarkan saham yang memiliki aktivitas haram seperti riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok, prostitusi, pornografi dan seterusnya. Reksa Dana Syariah di dalam investasinya tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan return yang tinggi. Tidak hanya melakukan maksimalisasi kesejahteraan yang tinggi terhadap pemilik modal, tetapi memperhatikan pula bahwa portofolio yang dimiliki tetap berada pada aspek investasi pada perusahaan yang memiliki produk halal dan baik yang tidak melanggar aturan syariah.


D. Perbedaan Reksa Dana Syariah dan Konvensional

Kegiatan reksa dana yang ada sekarang masih banyak mengandung unsure-unsur yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Ada beberapa hal yang membedakan antara reksa dana konvensional dan reksa dana syariah. Dan tentunya ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam investasi syariah ini.
1. Kelembagaan
Dalam syariah islam belum dikenal lembaga badan hukum seperti sekarang. Tapi lembaga badan hukum ini sebenarnya mencerminkan kepemilikan saham dari perusahaan yang secara syariah diakui. Namun demikian, dalam hal reksa dana syariah, keputusan tertinggi dalam hal keabsahan produk adalah Dewan Pengawas Syariah yang beranggotakan beberapa alim ulama dan ahli ekonomi syariah yang direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Dengan begitu proses didalam akan terus diikuti perkembangannya agar tidak keluar dari jalur syariah yang menjadi prinsip investasinya.
2. Hubungan Investor dengan Perusahaan

Akad antara investor dengan lembaga hendaknya dilakukan dengan sistem mudharabah. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalain si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Dalam hal transaksi jual beli, saham-saham dalam reksa dana syariah dapat diperjual belikan. Saham-saham dalam reksa dana syariah merupakan yang harta (mal) yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam syariah. Tidak adanya unsur penipuan (gharar) dalam transaksi saham karena nilai saham jelas. Harga saham terbentuk dengan adanya hukum supply and demand. Semua saham yang dikeluarkan reksa dana tercatat dalam administrasi yang rapih dan penyebutan harga harus dilakukan dengan jelas.

3. Kegiatan Investasi Reksa Dana

Dalam melakukan kegiatan investasi reksa dana syariah dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. diantara investasi tidak halal yang tidak boleh dilakukan adalah investasi dalam bidang perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain yang ditentukan oleh Dewan Pengawas Syariah.Dalam kaitannya dengan saham-saham yang diperjual belikan dibursa saham, BEJ sudah mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII). Dimana saham-saham yang tercantum didalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah.
Dalam melakukan transaksi Reksa dana Syariah tidak diperbolehkan melakukan tindakan spekulasi, yang didalamnya mengandung gharar seperti penawaran palsu dan tindakan spekulasi lainnya. Demikianlah uraian singkat mengenai reksa dana syariah dan beberapa ketentuan serta prinsip yang harus dijalankan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan anda dalam hal umum mengenai investasi syariah.

Kamis, 06 Mei 2010

Nusyuz

A. Nusyuz

Nusyûz adalah pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak. Jika seorang istri tidak melakukan kewajiban semisal shalat, atau melakukan keharaman seperti tabarruj (berpenampilan yang menarik perhatian lelaki lain), maka seorang suami wajib memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti dia telah melakukan tindakan nusyûz. Dalam kondisi seperti ini, seorang suami berhak untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya. Dia juga tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Jika istrinya telah kembali, atau tidak nusyûz lagi, maka sang suami tidak berhak lagi untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya, dan pada saat yang sama dia pun wajib memberikan nafkah istrinya.

Ketika syariat telah menetapkan hak seorang suami secara umum untuk memerintahkan istrinya melakukan sesuatu, atau melarangnya, syariat juga telah men-takhshîsh beberapa hal dari keumuman tersebut. Misalnya, syariat membolehkan seorang wanita untuk melakukan transaksi bisnis, mengajar, melakukan silaturahmi, pergi ke masjid, menghadiri ceramah, seminar, ataupun kajian. Dengan adanya takhshîsh ini, konteks nusyûz tersebut bisa lebih dideskripsikan sebagai bentuk pelanggaran seorang istri terhadap perintah dan larangan suami, yang berkaitan dengan kehidupan khusus (al-hayâh al-khâshah), dan kehidupan suami-istri (al-hayâh az-zawjiyyah).

Karena itu, di luar semua itu tidak dianggap nusyûz. Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh al-'ammâh), seperti jual-beli di pasar, atau belajar di masjid, dan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan suami istri tidak termasuk dalam kategori nusyûz. Jika suami memerintahkan istrinya menyiapkan makanan untuknya, menutup aurat di depan laki-laki lain, memerintahkannya shalat, puasa, mengenakan pakaian tertentu, atau tidak membuka salah satu jendela, tidak menjawab orang yang mengetuk pintu, tidak duduk di beranda rumah, mencuci pakaian suaminya, keluar rumah dan lain-lain yang berkaitan dengan kehidupan khusus, atau kehidupan suami-istri, maka syariat telah memerintahkan seorang istri untuk menaati suaminya dalam perkara-perkara tersebut. Jika dia melanggar dan tidak menaatinya, maka dia layak disebut melakukan nusyûz, dan kepadanya berlaku hukum nusyûz.

Dalam hal-hal yang tidak terkait dengan kehidupan khusus (al-hayâh al-khâshah) dan kehidupan suami-istri (al-hayâh az-zawjiyyah), maka suami hanya berkewajiban untuk memerintahkan istrinya, atau melarangnya; jika istrinya tidak mau menaatinya, maka tidak bisa dianggap nusyûz. Jika seorang suami, misalnya, memerintahkan istrinya menunaikan ibadah haji, membayar zakat, berjihad, bergabung dengan salah satu partai (organisasi), atau melarang istrinya mengunjungi kedua orangtuanya, bersilaturahmi dengan kerabatnya, membuka kios untuk berdagang, datang ke masjid untuk shalat berjamaah, menghadiri seminar, tablig akbar, masîrah dan sebagainya, yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh al-'ammâh), dan tidak berkaitan dengan kehidupan khusus atau kehidupan suami-istri, maka seorang istri tidak wajib menaati suaminya dalam perkara-perkara tersebut; sekalipun tetap wajib meminta izin kepada suaminya. Hanya saja, adanya izin tersebut tidak mengikat. Nah, ketika seorang istri tidak menaati suaminya dalam hal seperti ini, maka dia pun tidak bisa dianggap nusyûz.

Mengenakan jilbâb (sejenis jubah/abaya) sebagai bentuk pakaian Muslimah di luar rumah merupakan bagian dari kehidupan umum, bukan kehidupan khusus; seperti halnya silaturahim, haji, zakat, atau bergabung dengan partai. Semuanya itu hukumnya wajib bagi wanita. Dalam hal ini, suami tidak berkewajiban untuk memaksa istrinya agar melaksanakan kewajiban tersebut, sepanjang semuanya itu merupakan kehidupan umum dan tidak berkaitan dengan kehidupan suami-istri. Suami memang tidak berkewajiban untuk memerintahkan istrinya, atau melarangnya untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Jika suaminya memerintahkan atau melarangnya, sementara istrinya tetap tidak mau untuk menaatinya, maka istrinya tidak boleh dianggap nusyûz, dan suaminya pun tidak berhak untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran istrinya dalam kasus seperti ini.

Akan tetapi, kalau berkaitan dengan kehidupan khusus, misalnya seorang istri keluar (di ruang tamu) menemui tamu dengan pakaian kerja, dengan rambut terurai, dengan kedua lengan dan bahu terbuka, yang berarti telah melakukan tabarruj, atau berpakaian yang dianggap kurang pantas oleh masyarakat, maka suaminya wajib memerintahkan istrinya atau melarangnya dari hal-hal tersebut. Sebab, semua itu berkaitan dengan kehidupan khusus. Di dalam kehidupan khusus seperti itu dia hanya diperbolehkan untuk berpakain kerja atau membuka auratnya di hadapan mahram-nya.

Karena itu, bisa saja terjadi, seorang istri keluar rumah dengan menutup seluruh auratnya, tetapi tidak dalam bentuk jilbâb, sekalipun suaminya telah memerintahkannya agar berpakaian dalam bentuk jilbâb. Pelanggaran tersebut tidak termasuk dalam kategori nusyûz. Bisa jadi pula seorang istri tetap keluar rumah untuk menghadiri kajian di masjid, atau seminar di kampus, sekalipun suaminya telah melarangnya untuk melakukan kegiatan tersebut. Pelanggaran tersebut juga tidak dianggap nusyûz. Meski demikian, jika di rumah ada kewajiban lain, misalnya mengurus anak, menyiapkan pakaian, makan dan minum suami, maka tidak seharusnya kewajiban tersebut diabaikan, sehingga dia melakukan taqshîr (kelalaian). Dalam konteks seperti ini istri tersebut memang tidak dianggap nusyûz, namun tetap dinyatakan melakukan taqshîr.

Adapun hal lain yang termasuk dalam kategori kehidupan khusus adalah ketika seorang wanita kerja lembur dengan lelaki lain dalam suatu tempat yang bercampur-baur; wanita bepergian dengan suami atau mahram mereka bersama-sama dengan laki-laki lain, baik mereka bersama istri-istrinya atau tidak; wanita belajar dengan laki-laki lain dalam suatu majelis di dalam rumah, sementara untuk masuk ke rumah tersebut diperlukan izin; wanita belajar di sekolah menengah atas, atau yang lain, dan mereka belajar bersama-sama dengan laki-laki lain; wanita bekerja di sekolah atau tempat seperti ini. Semuanya itu masuk dalam kategori kehidupan khusus. Jika suaminya melarang kerja lembur, pergi rekreasi yang bercampur-baur, meninggalkan studi, meninggalkan tugas mengajar atau bekerja—yang semuanya di tempat yang bercampur-baur—maka ketika istrinya tidak menaati perintah dan larangan suaminya, dia bisa dinyatakan nusyûz. Dalam hal ini, suaminya berhak untuk menjatuhkan sanksi tertentu kepada istrinya itu. Pada saat yang sama, suami juga tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.

Namun, menghadiri kajian di masjid, ceramah umum, seminar, konferensi, atau Pemilu, semuanya itu merupakan bagian dari kehidupan umum, dan bukan kehidupan khusus. Jika suaminya melarang hadir, lalu istrinya tidak menaati larangannya, maka dia tetap tidak bisa dianggap nusyûz. Karena semuanya itu merupakan bagian dari kehidupan umum, bukan kehidupan khusus, dan tidak berkaitan dengan kehidupan khusus.

Sanksi Nusyûz

Sanksi nusyûz tersebut telah dijelaskan oleh Pembuat syariat. Allah Swt. berfirman:

]وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً[

Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membekas). Jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. (QS an-Nisa' [4]: 34).

Jadi, bentuk sanksi tersebut adalah:

(1) menasihatinya dan memberikan peringatan kepadanya;

(2) meninggalkannya di tempat tidur;

(3) memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas.

Semua sanksi tersebut ditetapkan sebagai solusi agar seorang istri menaati suaminya. Jika suami ingin menyelesaikannya, penyelesaiannya harus dengan penyelesaian yang telah dinyatakan oleh syariat di atas. Jika dia menyelesaikannya dengan penyelesaian yang lain, misalnya karena faktor kesalahan nusyûz tadi, kemudian dia menceraikan istrinya, maka penyelesaian seperti ini bukan merupakan penyelesaian yang dinyatakan oleh syariat; sekalipun hukumnya mubah.

Di samping itu, ada hal-hal yang seharusnya tetap menjadi perhatian, bahwa kehidupan suami-istri harus memperhatikan terbentuknya kehidupan keluarga yang harmonis, dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih. Rasulullah saw. bersabda:

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لاََِهْلِهِ وَاَنَا خَيْرُكُمْ لاَِهْلِيْ»

Sebaik-baik kalian adalah kalian yang paling baik terhadap keluarganya, dan akulah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku. (HR Muslim).

Karena itu, fungsi kepemimpinan (qawâmah) suami terhadap istri adalah fungsi kontrol yang bersifat ri'âyah (mengurus), bukan kontrol pemerintahan, kekuasaan atau sultan. Dalam konteks seperti ini, kita wajib meneladani Baginda Rasulullah saw. Kita harus melihat, bagaimana beliau memperlakukan para istrinya, dan itulah yang seharusnya kita teladani. Kita hanya terikat dengan syariat, bukan dengan akal atau tradisi kita.

Karena itu pula, bagi istri-istri yang melakukan pelanggaran terhadap perintah atau larangan suami di luar konteks nusyûz, jika pelanggaran tersebut termasuk dalam kategori maksiat kepada Allah, semisal tidak mengenakan pakaian dalam bentuk jilbâb di tempat umum, padahal berpakaian seperti ini hukumnya wajib, maka dalam konteks ini negaralah satu-satunya yang berhak menjatuhkan sanksi kepadanya, bukan suaminya. Sebab, sanksi suami hanya berhak dijatuhkan dalam konteks nusyûz, bukan untuk yang lain.