java script

Kamis, 23 Desember 2010

Asumsi ekonomi islam

Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam aspek penawaran.
Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma moral, baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal ini menimbulkan dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya, mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagau sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi generasi mendatang.
Semua kreasi dan inovasi dipacu dan terus digenjot atas nama ekonomi. Padahal tidak semua barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk diciptakan bagi kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu pada hakekatnya suatu bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu diproduksi atau sebenarnya ada barang lain yang menempati ranking lebih penting harus terlebih dahulu diproduksi. Hal ini mengakibatkan sistem perekonomian menjadi tidak dapat dikendalikan (unmanageable).
Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara syar’i.
Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi dengan beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan menjadi pelita bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam kerangka nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic man.
Ketiga, netral terhadap nilai (value neutral). Asumsi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi konvensional yang dipandang sebagai disiplin positif. Tugas dari suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan realitas atau suatu fenomena secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari pengamat. Di awal-awal perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah, banyak pakarnya yang cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan eksak layaknya fisika atau kimia.
Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak selalu positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan dengan moral terutama yang berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini disebabkan karena sekulerisme dalam ilmu pengetahun telah mencapai akar-akarnya sehingga buah yang muncul dari ilmu pengetahun itu sudah terkena racun sekulerisme. Namun perlu dicatat bahwa asumsi netral terhadap nilai ini tidak selalu dapat dipertahankan. Umumnya dalam bidang ilmu mikro ekonomi akar netralitas ini begitu kuat dan menghujam, tetapi dalam makro ekonomi tidak demikian. Malahan kita dapat melihat bahwa semua tujuan-tujuan pokok dalam bidang makroekonomi pada hakekatnya adalah bermuatan nilai (value laden) misalnya tentang kesempatan kerja penuh (full employment), stabilitas nilai tukar dan harga dan lain-lain. Bahkan kebijakan pemerintah di hampir semua bidang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai.
Adanya keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja produksi dan penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan injeksi moral Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi mendorong agen ekonomi untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien. Bagi mereka yang memahami Islam secara parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa semua nilai-nilai ini hanya berfungsi sebagai hambatan dalam ekonomi dan pembangunan. Kesimpulan ini amat naif dan terkesan tergesa-gesa serta dilatarbelakangi oleh kebodohan..

Minggu, 10 Oktober 2010

6 Perspektif atau pendekatan dalam menjelaskan relevansi dan pentingnya MSDM

1.Sudut pandang Politik. Perpektif ini bertitik tolak dari keyakinan bahwa sumber daya manusia merupakan aset terpenting yang dimiliki oleh suatu organisasi, mulai dari tingkat makro bahkan international hingga tingkat mikro. SDM yang terdidik, trampil, cakap, disiplin, tekun, kreatif, mau kerja keras, setia pada cita-cita dan tujuan organisasi, akan sangat berpengaruh pada positif kepada keberhasilan dan kemajuan organisasi.

2.Sudut Pandang Ekonomi.Sudut pandang ini berangkat dari pandangan bahwa sumber daya manusia adalah homo economicus, makhluk yang berkegiatan / beraktifitas secara ekonomi, berproduksi, dan juga sebagai pusat segala keberhasilan.

3.Sudut pandang Hukum. Perpektif ini mempunyai anggapan bahwa sumber daya manusia harus lah seimbang antara kewajiban dan haknya dalam mencapai tujuan organiasinya. Bilamana perlakuan kewajiban dan hak tidak seimbang maka akan timbul permasalahan diantaranya mogok kerja dan lain sebagainya.

4. Sudut pandang Sosio-kultural. Pandangan ini berangkat dari dua bagian dari diri manusia, yakni aktualisasi (keberadaan) dan harkat dan martabat. Dimana dalam aktualisasi ini merupakan sikap pengakuan akan keberadaan dirinya di masyarakat, sedangkan harkat dan martabat adalah pengakuan jati dirinya di masyarakat.

5. Sudut pandang Administrasi. Sudut pandang ini bertolak dari anggapan bahwa untuk mencapai suatu tujuan bersama dalam organisasi ini perlu adanya suatu administrasi di dalam organisasi tersebut.

6. Sudut pandang Teknologi. Dengan berkembangnya jaman yang diikuti oelh perkembangan TI yang begitu pesat, maka sumber daya manusia dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuannya khususnya di bidang TI.

(Sondang P Siagian, 1994)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrasturktur lebih banyaktersedia, perusahaan makin banyak dan berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi, teknologi semakin meningkat, dll.

Implikasi:
1. kesempatan kerja bertambah
2. tingkat pendapatan meningkat
3. kemakmuran masyarakat semakin tinggi

1. pertumbuhan
untuk kuantitatif yang digunakan untuk menggambarkan perkembangan suatu perekonomia dalam satu tahun dibandingkan tahun sebelumnya

2. perkembangan
pertumbuhan ekonomi plus perubahan
1. pendidikan
2. teknologi
3. kesehatan
4. infrastruktur
5. kemakmuran masyarakat

pembangunan ekonomi dalam islam
(economic development in islam)
" A balanced and sustained improvement in the material and non material well being of man, an developmen of welfare through advancement reorganisation and reorientation of entire economic and social system and through spritual uplifment in accordance with islmaic teachings.

dikutip dari perkuliahn "ekonomi pembangunan islam"

Jumat, 08 Oktober 2010

Makalah Kaidah Fiqih

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

II. Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi

III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)

Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentuka
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
• Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
• Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
• Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
• Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
• Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
• Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
• Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
• Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
• Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
1. Mempermudah dalam menguasai materi hokum
2. kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.

VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.

VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama
“segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
c. Kaidah asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.

5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
• Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
• Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Di Indonesia
Drs. Kharisuddin Aqib, M.Ag.
A. Sejarah Berdirinya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah univikasi dari dua buah tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syekh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syekh Ahmad Khatib adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan sisilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah saja. Dan sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at tarekat Naqsyabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syekh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut dimungkinkan karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama. Yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Tarekat Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan univikasi dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan univikasi dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dan disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Penamaan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syekh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekatnya itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya. Untuk lebih mengenal tentang tarekat ini, berikut dipaparkan secara singkat penjelasan tentang pokok-pokok ajarannya.
B. Pokok-pokok Ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah thariqah atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Ajaran-ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, tentang adab (etika), tentang dzikir, dan tentang murakabah (kontemplasi). Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang empat ajaran pokok tersebut.
Kesempurnaan Suluk
Ajaran yang sangat ditekankan dalam tarekat ini adalah suatu keyakinan dan prinsip bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah) berada dalam tiga dimensi keislaman (Agama Islam), yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga term tersebut biasa dikemas dalam satu ajaran (Three in One) yang sangat populer, yaitu Syari'at, Thareqat dan Haqiqat.
Syari'at adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia adalah ketentuan yang telah ditetapkan Allah sebagai Al-Syari' melalui rasul-Nya Muhammad SAW. Baik yang berupa perintah maupun larangan. Thariqat merupakan dimensi pengamalan syari'at tersebut yang didasarkan atas keimanan akan kebenaran syari'at. Sedangkan haqiqat adalah dimensi penghayatan dalam pengamalan (tarekat) syari'at yang ada. Dengan penghayatan atas pengamalan syari'at itulah maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut ma'rifat.
Suluk juga sangat ditekankan oleh pendiri Tarekat Qadiriyah, yaitu Syekh Abdul Qadir Jailani (w.561 H.), seorang sufi Sunni yang faqih dalam mazhab Hambali. Inilah prinsip pemahaman yang membedakan antara thasawwuf Sunni dengan Thasawwuf Falsafi. Disinilah tampak kebenaran apa yang dikatakan Nurcholish Madjid, tarekat-tarekat yang ada sekarang ini merupakan kelembagaan sufi populer yang telah disaring atau diseleksi oleh para ulama sufi Sunni seperti al-Ghazali, al-Qusyairi, al-Sya'rani, Ibn Taimiyah dan lain-lain, karenanya, keberadaan tarekat-tarekat yang ada sekarang ini sudah tidak perlu untuk terlalu dicurigai keabsahannya secara syar'i, walaupun sudah barang tentu ada satu dua yang mengatasnamakan tarekat atau berperan sebagai tarekat tapi tidak mengindahkan syari'at. Lembaga yang demikian itu dikenal di lingkungan Nahdatul Ulama' sebagai Thariqah Ghairu Mu'tabarah.
Adab ( Etika ) Para Murid
Adab dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah merupakan suatu ajaran yang sangat prinsip, tanpa adab tidak mungkin seorang Salik dapat mencapai tujuan suluk-nya. Secara garis besar adab oleh seorang Salik ada empat, yaitu; Adab kepada Allah dan Rasul-Nya, Adab kepada Syekh (Mursyid atau gurunya ), Adab kepada Ikhwan ( Sudara seiman ), dan Adab kepada diri sendiri.
Di antara Adab seorang murid kepada Allah adalah senantiasa mensyukuri semua karunia dan pemberian Allah kepada setiap waktu dan kesempatan, bahkan harus senantiasa menjaga kesadaran untuk bersyukur dan tidak melupakan-NYA. Adab murid kepada Mursyidnya sangat prinsip. Ia adalah juga syarat riyadho' dan suluk seorang murid. Adab atau etika antara murid dengan mursyid dalam suatu tarikat diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai adab para Sahabat terhadap Nabi. Mu'asyarah antara murid dengan mursyid termasuk melestarikan Sunnah (Tradisi) yang terjadi pada masa Nabi. Kedudukan murid menempati peran sahabat dan mursyid menggantikan peran Nabi dalam hal irsyad dan ta'lim.
Prinsip-prinsip adab antara sesama ikhwan bersifat sangat umum, dan berlaku tidak hanya antara sesama pengikut suatu tarekat tetapi ikhwan dalam arti saudara seiman (Ukhwah Islamiyah). Ajaran ini disandarkan pada semangat ukhwah islamiyah yang diajarkan oleh Rasulullah, misalnya penggambaran Nabi atas persaudaraan Islam, seperti dua tangan saling membasuh, dan bangunan yang saling menyangga.
Sedangkan adab pada diri sendiri ini merupakan inti dari prinsip-prinsip kehidupan sufistik pada umumnya, sperti wara', zuhud, memegang prinsip akhlakul karimah, dan muraqabah atau senantiasa merasa diperhatikan atau diawasi Allah.
Ajaran Tentang Dzikir
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah termasuk tarekat dzikir Thariqat al-Dzikr. Dzikir merupakan ajaran yang mesti ada. Dzikir dalam tarekat ini memiliki kekhususan yang membedakannya dari tarekat yang lain. Dzikir dalam tarekat ini adalah aktifitas lidah- baik lidah fisik maupun lidah batin- untuk menyebut dan mengingat asma Allah - baik berupa jumlah (kalimat) maupun isim mufrad (kata tunggal). Dan penyebutan tersebut telah dibai'atkan atau ditalqinkan oleh seorang mursyid yang muttashil al-faidl (bersambung sanad dan berkahnya) dengan Nabi. Dzikir dapat dipelajari dan diamalkan jika bukan dari seorang Syekh yang masih hidup, dapat dari nabi Khidlir. Tetapi inisiasinya harus benar dan harus turun melalui serentetan pemimpin rohani yang dapat dikembalikan kepada Rasulullah.
Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat dua jenis dzikir yaitu: dzikir nafi itsbat, dan dzikir ismudzat. Dzikir nafi itsbat adalah dzikir kepada Allah dengan menyebut: "La Ilaha Illa Allah" yang dikerjakan secara jahr, tapi setelah menjadi ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak harus dilakukan secara jahr. Sedangkan dzikir ismuzat adalah dengan menyebut nama-Nya yang Agung (Ism al-a'dham), Allah, Allah, Allah," secara sirri atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dzikir latha'if yang merupakan ciri khas ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah. Kedua jenis dzikir tersebut dibai'atkan sekaligus oleh seorang mursyid pada bai'at yang pertama kali.
Dzikir Nafi Itsbat dilakukan dengan gerakan-gerakan simbolik sebagai sarana tazkiyat al-nafs. Yaitu membersihkan lathifah-lathifah dari pengaruh-pengaruh nafsu yang madlmumah. Sedangkan dzikir ismdzat atau dzikir latha'if dipraktekkan dalam rangka mengaktifkan lathifah-lathifah yang ada dalam diri manusia. Sehingga seluruh lapisan lathifah (kelembutan) organ spiritualnya dapat melakukan dzikir.
Muraqabah
Muraqabah berarti mengamat-amati, atau menantikan sesuatu dengan penuh perhatian. Dalam tasawuf term ini berarti kontemplasi: kesadaran seorang hamba yang secara terus-menerus merasa diawasi dan diperhatiakan Allah dalam semua keadaan. Muraqabah dilaksanakan dalam rangka latihan psikologis (riyadlat al-nafs) firman Allah "Sesungguhnya Allah senantiasa memperhatikan atas diri kamu semua" (QS, al-Nisa' 4:1), untuk dapat menerima limpahan faidh alrahmani.
Tujuan muraqabah adalah agar menjadi mukmin yang sesungguhnya. Seorang hamba Allah yang muhsin, yang dapat menghambakan diri (ibadah) dengan penuh kesadaran, bahwa ia selalu berhadapan langsung dengan Allah, sebagaimana penjelasan Nabi tentang Ihsan: Ihsan ialah, engkau beribadah kepada Allah seolah-olah melihat Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.
Ada 20 macam dan tingkatan muraqabah dalam ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Ia merupakan pengambilan dari ajaran tarekat Naqsyabandiyah Mujaddiyah yang tidak berkembang di Indonesia. Untuk mengetahui bagaimana ajaran (tarekat) ini sampai dapat berkembang di Indonesia perlu dibahas sekilas sejarah perkembangannya.
C. Sejarah Perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia.
Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak khalifah, di antaranya adalah: Syekh Abdul Karim al-Bantani, Syekh Ahmad Thalhah al-Cireboni dan Syekh Ahmad Hasbullah Al-Maduri, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim Al-Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh Haji Ahmad Lampung dari Lampung dan Syekh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.
Penyebaran ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syekh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang khalifahnya yaitu Syekh Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan-kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Mungkin di antara sebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren-pesantren.
Setelah Syekh Ahmad Khattib wafat (1878), kepemimpinan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pusat (Makkah) dipegang Syekh Abdul Karim al-Bantani. Ia pindah ke Makkah beserta seluruh keluarganya tahun 1876 atas perintah gurunya. Semua khalifah Syekh Ahmad Khatib yang lain menerima kepemimpinan ini, tetapi setelah Syekh Abdul Karim al-Bantani, para khalifah tersebut kemudian melepaskan diri dan masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat dengan mursyid yang lain. Dengan demikian berdirilah beberapa kemursyidan baru yang independen.
Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang berada di Cirebon, yaitu Syekh Ahmad Thalhah mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang dirintis oleh Syekh Ahmad Thalhah ini kemudian dilanjutkan oleh khalifahnya yang terpenting yaitu KH. Abdullah Mubarak Ibn Nur Mubarak. Dia Kemudian mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di wilayah Tasikmalaya (Suryalaya). Dan sebagai basisnya didirikanlah pondok pesantren Suryalaya. Belakangan nama beliau ini sangat terkenal dengan panggilan "Abah Sepuh".
Kepemimpinan tarekat yang berpusat di Suryalaya ini, setelah meninggalnya Abah sepuh digantikan oleh putranya yaitu Syekh KH. Shahibul Wafa Tajjul Arifin yang lebih dikenal dengan panggialn Abah Anom. Beliau memimpin pesantren dan tarekat ini sampai sekarang. Ia mempunyai wakil talqin (khalifah) yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia.
Tampaknya di antara sebab terangkatnya kemursyidan Suryalaya ini adalah karena psikoterapi alternatif yang dikembangkan dalam tarekat ini. Dengan menggunakan metode riyadlat atau mujahadah, Abah Anom mengembangkan Psikoterapi Alternatif. Terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obat terlarang, sperti Ganja, Morfin, Heroin dan sebagainya.
Kemursyidan baru yang terpenting dalam perkembangan tarekat ini berada di Mranggan Demak Jawa Tengah. Kemursyidan ini berkembang melalui silsilah Syekh Abdul Karim al-Bantani yang dibawah oleh khalifahnya yaitu Syekh KH.Ibrahim al-Brumbungi (tinggal di Brumbung dekat Mrenggen Demak Jawa tengah). Setelah Syekh Ibrahim wafat, kemursyidan selanjutnya dipegang oleh muridnya KH.Muslikh Abdurrahman (putra pendiri pondok pesantren Futuhiyyah di Mrenggen tersebut).
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berkembang pesat di Jawa Tengah. Tampaknya ini karena beliau bertindak longgar atau "murah" kepada para khalifahnya. Khalifah yang wilayahnya berjauhan diberikan kebebasan untuk mandiri. Bahkan melalui beliau juga banyak kiyai di Jawa Timur menjadi mursyid dan mengembangkan tarekat ini. Setelah KH.Muslikh Abdurrahman ini meninggal (1981) "jabatan" mursyid di Jawa Tengah dipegang oleh putranya yang bernama M. Luthfil Hakim sampai sekarang.
Satu lagi khalifah Syekh Ahmad Khatib yaitu Syekh Ahmad Hasbullah al-Maduri. Pusat penyebaran tarekat dari jalur ini berada di pondok pesantren Rejoso Jombang Jawa Timur. Dari sinilah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menyebar ke berbagai penjuru tanah air, bahkan sampai ke luar negeri. Pengikut tarekat dari kemursyidan ini berada di hampir setiap kecamatan yang ada di 27 propinsi di wilayah Indonesia.
Syekh Ahmad Hasbu (Hasbullah) adalah khalifah Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi yang berasal dari Madura. Tapi beliau tinggal di Makkah sampai akhir hayatnya. Tarekat ini kemudian di bawa ke Jombang Jawa Timur oleh KH.Khalil (dari Madura Juga). Ia adalah menantu KH. Tamim, pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang tersebut. Selanjutnya KH.Khalil ini menyerahkan kemursyidan ini kepada iparnya , yaitu KH.Ramli Tamim. Dan mulai masa kepemimpinan beliau ini Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berkembang sangat pesat di Jawa Timur dan sekitarnya.
Kemursyidan ini kemudian dilanjutkan oleh putra KH.Ramli Tamim yang bernama Musta'in Romli. Khalifah KH.Ramli Tamim yang paling menonjol adalah KH. Usman al-Ishaqi yang selanjutnya mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di Surabaya. Pada masa kepemimpinan KH. Musta'in Ramli tarekat ini mengalami goncangan yang luar biasa hebatnya (khususnya yang berada di bawah kemursyidan Jombang). Goncangan itu terjadi karena KH.Musta'in Ramli menyeberang dan mengarahkan pengikutnya untuk berafiliasi ke GOLKAR pada pemilu tahun 1977.
Dengan beralihnya KH. Musta'in Ramli ke GOLKAR, dalam tubuh tarekat ini terjadi perpecahan. Para khalifah KH. Ramli Tamim yang mengakui kemursyidan KH. Musta'in Ramli banyak yang mufaraqah. Sehingga beberapa di antaranya bertindak sebagai mursyid dengan mengambil bai'at kemursyidan kepada KH.Muslikh Abdurrahman di Jawa Tengah. Karena peristiwa ini berdirilah Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah. Suatu organisasi para pengikut tarekat yang berada di bawah organisasi NU dan konsisten pada sikap politik NU.
Di antara hikmah dari dinamika politk dan perpecahan tersebut adalah perkembangan tarekat ini secara umum menjadi pesat dan lebih cepat. Jumlah mursyid menjadi lebih banyak dan lebih cepat dikenal oleh masyarakat luas. Pembangunan sarana dan prasarana yang dimilki oleh tarekat yang mursyidnya berafiliasi ke Golkar atau pemerintah relatif lebih baik dan lancar, sehingga bisa mengangkat citra tarekat yang selama ini dianggap lambang keterbelakangan. Karena begitu pesatnya perkembangan tarekat ini, hingga sekarang ini diperkirakan tarekat ini sebagai tarekat yang paling besar dan paling berpengaruh di Indonesia.
Sejak awal tarekat ini menampilkan praktek hidup yang dinamik. Sejak kepemimpinan tunggal yang kedua, Syekh Abdul Karim al-Bantani, para pengikut tarekat ini aktif dalam perjuangan melawan penjajah Belanda, begitu juga para khalifah sesudahnya. Mereka kebanyakan merupakan sosok sufi yang sangat aktif dalam kehidupan sosial-politik, seperti KH.Abd.Lathif (Cilegon), K.H. Abd. Halim (Bupati Pandegelang), KH.Ahmad Khatib (Gubernur Banten I dari pihak RI.), dan M.Falak Mursyid di Pagentongan Bogor yang sangat populer pada 1961-70-an. Demikian juga para Mursyid yang ada sekarang, seperti KH. Shahibul Wafa Tajul Arifin, Abah Anom Tasikmalaya, dan yang lainnya.
D. Penutup
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang berdiri pada abad XIX M. oleh seorang sufi besar asal Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika intelektual ummat Islam Indonesia pada saat itu cukup memberikan sumbangan yang berarti bagi sejarah peradaban Islam, khususnya di Indonesia. Kemunculan tarekat ini dalam sejarah sosial intelektual ummat Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai jawaban atas "keresahan Ummat" akan merebaknya ajaran "wihdat al-wujud" yang lebih cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai syari'at Islam. Dan jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari'at sentris juga mengakomodir kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.
Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas juga dari corak dan pandangan kemasyarakatannya. Contoh-contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam masalah politik yang diperankan oleh para mursyid tarekat ini memberikan isyarat bahwa ajaran tarekat ini tidak anti dunia (pasif dan ekslusif). Dengan demikian kesan bahwa tarekat adalah lambang kejumudan sebuah peradaban tidak dapat dibenarkan.
________________________________________
Penulis adalah Dosen tetap pada Fakultas Adab,
sedang menyelesaikan program Doktor di IAIN Syarif Hidayatullah

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Situs Pribadi Anjar Nugroho untuk ajang diskusi dan aksi pembaharuan Islam
Senin, 2007 Juli 09
PEMIKIRAN ISLAM

FIQIH KIRI : REVITALISASI USHÛL FIQH
UNTUK REVOLUSI SOSIAL
Oleh : Anjar Nugroho
A. Pendahuluan
Dalam perspektif sejarah, terminologi kiri seringkali dikenakan pada segala (pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Dalam pengertian lain kiri berarti meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak yang patut dibela, dilindungi dan diperjuangkan. Dan Hassan Hanafi memaknai kiri sebagai pihak yang berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, dan kaum miskin. Kiri, masih menurut Hanafi, adalah sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Jelas, ia adalah istilah akademik yang tanpa dibarengi pretensi politik dalam arti ideologi partai atau mobilitas massa, tegas Hanafi.
Kata “kiri” dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata “fiqih” yang secara istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan-perbuatan manusia, dimana pengetahuan tersebut diambil dari dalil yang bersifat tafshiliyah. Sehingga Fiqih Kiri yang dimaksud adalah pengetahuan atau tuntunan syar’i yang memihak kepada rakyat yang tertindas, miskin (atau dimiskinkan, mustadh’afîn), atau tuntutan syar’i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan hegemonik yang despotik. Fiqih Kiri diposisikan sebagai antitesis terhadap fiqih mainstreem yang selama ini cenderung memihak kepada -atau dipakai untuk mengamankan – kekuasaan.
Fiqih selalu dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat persoalan-persoalan umat. Hanya saja para ahli fiqih atau lebih dikenal sebagai fuqaha (organisasi formal fuqaha Indonesia adalah MUI) dalam melihat persoalan umat dalam banyak kasus cenderung memilih persoalan yang tidak menyinggung atau menggoyang kemapanan kekuasaan. MUI misalnya, hanya berkutat pada memberi label halal-haram atau memberi fatwa sesat kepada kelompok yang dianggap menyimpang dari tradisi keagamaan mainstreem, tapi enggan mengutuk pabrik-pabrik yang menggaji rendah buruh atau mengutuk (kalau perlu fatwa murtad) terhadap koruptor kelas kakap.
Fiqih Kiri diharapkan akan mewarnai kerangka proses maupun hasil ijtihâd para ulama. Ketidakpekaan fiqih dalam menyoroti masalah kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi terhadap pelanggaran kemanusiaan. Jika fiqih terlambat dalam menangani dan mengatasi masalah kemanusiaan, fiqih akan mengalami dua masalah bersamaan : Pertama, fiqih akan manja dalam kemapanannya. Fiqih akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak perlu melihat ke bawah. Kedua peran fiqih akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan fiqih tidak berarti apa-apa dalam menjawab problem-problem real rakyat.
Untuk menuju kepada Fiqih Kiri, maka perlu dikoreksi berbagai perangkat metodologis yang melahirkan fiqih, yakni Ushûl fiqh. Jika ilmu fiqih merupakan ilmu yang bersifat praksis semata-mata, maka ilmu Ushûl fiqh merupakan ilmu tentang “teoritisasi aktivitas praksis” yang memberikan teoritisasi perbuatan, logika perilaku, dan metodologi aktivitas praksis. Mengkoreksi atau mengkaji ulang Ushûl fiqh berarti mengkaji ulang berbagai teori yang terdapat dalam Ushûl fiqh, termasuk di dalamnya kaji ulang terhadap teori qath’i-dzhannî, muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh, dan yang lebih penting adalah mengembalikan seluruh bangunan fiqih kepada landasan fundamentalnya, yaitu mashlahah (kepentingan rakyat). Sebagaimana kata al-Thûfi, mashlahat merupakan sesuatu yang qath’i, sementara teks bersifat zhannî.
Tulisan ini akan mencoba melakukan kaji ulang secara kritis terhadap teori-teori Ushûl fiqh yang selama ini telah memasung fiqih menjadi sekedar kumpulan hukum statis yang tidak bisa berbicara apa-apa terhadap problem dan nasib rakyat. Banyak para pemikir muslim kontemporer yang dalam tulisan ini pemikirannya akan diramu sedemikian rupa sehingga mewujud sebuah konstruksi pemikiran fiqih baru yang penulis beri nama Fiqih Kiri. Para pemikir itu tentunya yang selama ini dikenal sebagai para pemikir Islam kiri, seperti misalnya Ali Syariati dan Hassan Hanafi.
Dalam makalah ini akan dielaborasi lebih lanjut sebagai sebuah tulisan utuh tentang konsep Fiqih Kiri dengan berangkat dari pokok-pokok masalah sebagai berikut : Pertama, tentang apa yang menjadi tujuan dan orientasi Fiqih Kiri. Kedua, tentang bagaimana revitalisasi ushul fiqih untuk mendukung bangunan Fiqih Kiri. Dan ketiga, tentang apa yang menjadi proyek strategis revolusi sosial dalam rangka menggerakkan Fiqih Kiri dalam dataran praksis.
B. Tujuan dan Orientasi Fiqih Kiri
Fiqih dalam agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihâd (intellectual exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihâd . Ada aliran fiqih yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk terlibat dalam proses ijtihâd , ada aliran yang cenderung literal karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihâd .
Berbagai ragam aliran fiqih pada era klasik lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat atau umat saat itu ketimbang sekedar adu argumen berbasis metodologi tertentu yang tidak memiliki nili praksis apapun. Imam Hanafi lebih liberal dalam ber-ijtihâd , karena ia dihadapkan pada dinamika Bashrah yang tinggi, sementara perbendaharaan teks (Qur’an dan Hadis) jumlahnya terbatas. Inilah kondisi yang memberi peluang kepada Imam Hanafi untuk lebih kreatif dalam memainkan eksperimen intelektualnya.
Tetapi yang jelas dari sekian corak dan ragam pemikiran fiqih yang muncul pada jamannya, pemikiran itu mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud oleh Hasan Hanafi dengan nilai praksis pemikiran keagamaan, sebuah segmen yang sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.
Fiqih Kiri yang menjadi diskursus inti dalam kajian tulisan ini tentu saja memiliki tujuan dan orientasi sebagai bagian dari upaya mengarahkan Fiqih Kiri ke arah pemikiran keagamaan yang memiliki nilai praksis. Wacana Fiqih Kiri sewarna dengan wacana Islam Kiri yang sudah digagas luas oleh Hasan Hanafi maupun beberapa pemikir lain yang menempatkan Islam sebagai kekuatan kritik sosial dan revolusi. Fiqih Kiri pun diarahkan kepada bentuk pemikiran fiqih yang mempunyai keberpihakan yang jelas kepada pihak yang teraniaya dan tertindas. Fiqih Kiri di sini harus dapat memberi panduan kepada umat untuk dapat memformulasikan bentuk-bentuk perlawanan kepada kedhaliman sebagai manifestasi perjuangan menegakkan keadilan dan kemashlahatan di muka bumi.
Adalah Prof. KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz, ulama fiqih Indonesia yang pernah melontarkan pemikiran tentang fiqih sosial. Fiqih sosial dalam bayangan mereka adalah fiqih yang mempunyai orientasi sosial, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kapada masalah-masalah sosial. Fiqih bukan saja seperangkap hukum yang mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan orang lain (muamalah) dengan berbagai macam dimensi ; politik, ekonomi, budaya dan hukum.
Fiqih sosial, begitu Fiqih Kiri, memiliki asumsi bahwa fiqih adalah al-ahkam al-amaliyah (hukum perilaku) yang bertanggungjawab atas pernik-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebajikan dan tidak mengganggu pihak lain sehingga kemashlahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fiqih diukur oleh relevansinya dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih makmur, dinamis, adil, dan beradab (mashlahat).
Fiqih Kiri dalam konteks ini, berseberangan dengan fiqih yang selama ini diasumsikan sebagai sesuatu yang statis untuk mendukung stabilitas dalam masyarakat. Lagi-lagi ini adalah sebagai akibat dari bias kepentingan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan maupun pengetahuannya. Fiqih yang diposisikan sebagai medium harmoni macam ini, akan terjebak pada arus yang tidak seirama dengan kepentingan rakyat banyak.
Penguasa memang mempunyai kepentingan yang kuat untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya, tanpa peduli apa yang ia lakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemashlahatan masyarakat. Tak jarang penguasa melakukan kolaborasi dengan pihak penguasa agama (ulama) agar kebijakan yang ia telorkan memiliki bobot legitimasi yang kuat. Aneka kebijakan pembangunan dengan menggusur rumah-rumah kumuh yang notabenenya dimiliki oleh rakyat jelata dan papa, diamini oleh ulama rezim dengan dalih untuk kemashlahatan umum, yaitu ketertiban tata kota. Tentu saja ini fenomena yang sangat mencengangkan, dilihat dari perspektif peran ulama yang semestinya lebih berpihak kepada rakyat kecil ketimbang penguasa yang sering menindas rakyatnya. Sehingga fiqih yang keluar dari pemikiran ulama model ini sarat dengan kepentingan kelas tertentu, dan sama sekali tidak menyentuh akar kebutuhan rakyat.
Fiqih Kiri mempunyai orientasi dan misi pembebasan sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam progresif. Pembebasan dan Fiqih Kiri bermakna melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan sosial yang penuh penyimpangan dan ketidakadilan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul dahulu. Masing-masing Nabi dan Rasul mendapat tugas risalah yang muaranya adalah pembebasan manusia dari belenggu kedhaliman dan tirani.
Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak pula pada diri Nabi Muhammad saw, Nabi dan Rasul pamungkas dari kesekian Nabi dan Rasul yang pernah diutus Allah di muka bumi. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup. Ada banyak budak, para janda dan anak yatim yang diabaikan tanpa ada yang peduli terhadap nasib mereka. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak dan dia kembali dengan pasukan pembebas untuk menagakkan keadilah. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Persia yang menindas. Dari praksis inilah tradisi pembebasan Islam muncul.
Rasulullah saw., yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan sang revolusioner pertama di zaman ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.
Rasul mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.
Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir.
Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Ia mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan.
Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pula para pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :
“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.”
Secara harfiyah, zulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi zhulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu.
Al-Qu’an mendefinisikan zhâlimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan). Mereka adalah “ yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..”. Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku :
“Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri.”( Q.S. Ali Imran : 116 – 117)
Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, penguasa yang zhâlim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang zhâlim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kezaliman dan membela orang kecil.
Tetapi yang perlu mendapat cacatan tebal di sini adalah bahwa Fiqih Kiri, sebagaimana pula Islam kiri, bukanlah fiqih yang dibungkus Marxisme, karena hal itu berarti menafikkan makna revolusioner Islam dan fiqihnya serta mengingkari tuntutan kaum muslimin terhadap kemerdekaan, persamaan dan keadilan sosial. Fiqih Kiri – sebagaimana pula Islam kiri – bukan pula Marxisme yang berbaju Islam, karena hal itu berarti pengecut. Dan bukan pula pertautan ekletik keduanya. Karena pertautan yang demikian itu mencerminkan pemikiran yang tidak mengakar dan tercerabut dari realitas rakyat. Tidak ada sedikitpun pengaruh Marxisme dalam Fiqih Kiri, baik dalam bentuk maupun substansi. Ia murni merefleksikan kebutuhan kaum Muslimin yang selama ini tertindas, dengan menggali akar-akar revolusioner dalam ajaran Islam melalui upaya revitalisasi teori-teori yang selama ini digunakan sebagai landasan pijak pemikiran Islam.
Itulah yang menjadi tujuan dan orientasi Fiqih Kiri; fiqih yang selalu berpihak kepada mereka yang ditindas, teraniaya, miskin (atau termiskinkan, mustadh’afîn). Melalui formulasi Fiqih Kiri, problem-problem mendasar dalam kehidupan masyarakat dapat diselesaikan melalui rumusan-rumusan hukum dan fatwa agama yang selalu membela kepentingan rakyat banyak. Mashlahât al-âmmah (kemaslahatan umum) menjadi barometer dan landasan asasi dalam merumuskan Fiqih Kiri. Untuk itu dalam analisis selanjutnya akan diuraikan bagaimana Ushûl fiqh direvitalisasi untuk menghasilkan landasan teoritik fiqih yang tidak statis tetapi dinamis, tidak konservatif tetapi progresif.
C. Revitalisasi Ushûl fiqh
Problem mendasar ketika fiqih hendak diposisikan pada tataran yang lebih progresif dan dinamis adalah problem metodologi. Pada problem ini, Ushûl fiqh sebagai landasan teoritik bangunan pemikiran fiqih, terjebak pada pergulatan kaidah-kaidah bahasa, seolah-oleh para pakar yang terlibat dalam pergulatan itu sedang mencoba untuk memahami maksud nash yang di dalamnya ada pikiran Tuhan. Inilah terdapat paradoks yang sulit dimengerti ; Bagaimana pikiran Tuhan dipahami pada tataran bahasa yang notabene-nya adalah ciptaan manusia. Pertanyaan filosofis lebih lanjut adalah; apakah fiqih yang bersumber kepada kemaslahatan, harus sesuai dengan mashlahât nya Tuhan? Bukankah ukuran kemaslahatan itu ada di bumi, karena pada hakekatnya manusia yang merasakan sesuatu itu mashlahât atau bukan?
Pada intinya, Fiqih Kiri membutuhkan revitalisasi Ushûl fiqh, agar fikih kiri tidak terjebak pada kungkungan Ushûl fiqh klasik yang languange-oriented, tetapi mengabaikan fakta-fakta empirik di lapangan. Pendekatan Ushûl fiqh yang lebih condong ke deduktif, misalnya, direorientasi kepada pendekatan induktif dan empiris yang lebih dekat pada problem-problem real masyarakat, bukan masyarakat yang terus-menerus dipaksa sesuai dengan teks.
Ada dua proyek revitalisasi yang akan dibahas dalam tulisan ini, diantaranya adalah menempatkan mashlahat sebagai landasan syari’at, dan rekonstruksi teori qath’i –zhannî atau muhkamât-mutasyabihât. Berangkat dari dua proyek revitalisasi ini, mencoba untuk diproyeksikan bangunan fiqih yang mempunyai keberpihakan yang jelas dan otentik pada rakyat banyak tanpa harus terjebak pada problem-problem metodologis.
1. Kemaslahatan Sebagai Landasan Syarî’at
Syarî’at pada prinsipnya mengacu kepada kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama Ushûl fiqh, setiap hukum (Syarî’at) itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu setiap mujtahid dalam meng-istinbat-kan (menyimpulkan) hukum dari suatu kasus yang dihadapi, harus berpatokan kepada tujuan-tujuan syara’ dalam menSyarî’atkan hukum, sehingga hukum yang akan ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Masdar Farid Mas'udi adalah salah satu pemikir muslim Indonesia yang menempatkan kemaslahatan dan keadilan sebagai landasan Syarî’at, baik landasan filosofi maupun epistemologinya. Masdar berpendapat bahwa hukum (legal) haruslah didasarkan kepada sesuatu yang tidak disebut hukum , akan tetapi didasarkan kepada yang lebih mendasar dari sekadar hukum. Yaitu, demikian kata Masdar, sebuah sistem nilai yang dengan sadar diambil sebagai sebuah keyakinan yang harus diperjuangakan ; yakni kemaslahatan, keadilan. Untuk selanjutnya di bawah ini adalah pembahasan tentang mashlahât secara lebih detail dan konprehensip.
Mashlahât secara terminologi adalah sesuatu yang bermanfaat, baik dengan menarik sesuatu atau menghasilkan sesuatu, seperti menghasilkan manfaat dan kebahagiaan atau dengan cara menolak, seperti menjauhkan dari kemadharatan dan penyakit.
Mashlahât menurut Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, adalah suatu ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat dan menolak mafsadât dari manusia. Sedangkan al-Khawârizmi mendefinisikan mendefinisikan mashlahât adalah memelihara maqâsid asy-syarî’ah dengan menolak mafsadât dari umat. Al-Buti memandang memandang mashlahât adalah suatu manfaat yang dikehendaki oleh syari’ untuk hamba-Nya dengan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Asy-Syâtibî mendifinisikan mashlahât sesuatu yang merujuk atau dikembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia.
Sementara al-Gazâli mendefinisikan :
Yang sama maksud dengan mashlahât adalah memelihara tujuan syara’. Dan tujuan syara’ kepada makhluq ada lima, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Dengan demikian, semua yang mencakup pemeliharaan dasar-dasar yang lima ini adalah mashlahât dan semua yang tidak mencakup dasar-dasar ini adalah mafsadah dan menolak mafsadât adalah suatu kemaslahatan.
Dalam pengertian tersebut, al-Gazâli tidak memaknai mashlahât secara ‘urfi. Yang dia maksud adalah menarik manfaat atau menolak kesulitan menurut maqâsid asy-Syar’iyyah, bukan kemanfaatan dan kesulitan itu sendiri. Dalam hal ini terkadang menusia memandang sesuatu bermanfaat, sedang menurut pandangan syar’i adalah merusak (mafsadât ) atau sebaliknya. Dengan demikian, tidak ada kepastian antara mashlahât dan mafsadât menurut ‘urf manusia dan ‘urf syar’i. Dengan kata lain mashlahât dalam pandangan al-Gazâli adalah memelihara tujuan syar’i, meskipun bertentangan dengan tujuan manusia. Karena tujuan manusia, ketika bertentang dengan tujuan syari’ dalam suatu kemaslahatan tetentu bukanlah merupakan kemaslahatan, melainkan hawa nafsu yang merasuk ke dalam jiwa. Karena itu mashlahât tidak hanya dipandang dari sudut manusia, tetapi harus melihat pada apa yang telah disebutkan dalam nas.
Memperkuat pendapat al-Gazâli, Wahbah az-Zuhaili memandang bahwa setiap mashlahât dikembalikan kepada usaha memelihara tujuan syara’ yang berdasarkan Al-Qur'an, sunnah dan ijma’. Apabila mashlahât difahami seperti itu, maka tidak ada perbedaan pendapat untuk memeganginya sebagai hujjah. Az-Zuhaili lalu menjelaskan dengan lebih jelas sebagaimana terkutip sebagai berikut,
Karena manusia berbeda-beda dalam menentukan kemaslahatan sesuai dengan terwujudnya kemanfaatan zati (sesungguhnya), bukan menolak kemaslahatan yang sudah disepakati, maka dalam pemberlakuan hukum hendaknya ada keseimbangan keadilan antara manusia dalam menentukan mashlahât dan manfaat. Dari sinilah menjadi jelas keperluan untuk menentukan mashlahât berdasarkan ketentuan syara’, dengan tidak boleh dibebankan kepada individu tertentu. Dengan demikian dapat difahami hukum yang sesuai dengan watak manusia.
Hasan Hanafi dalam hal ini telah mengembangkan paradigma fiqih dan ushul fiqh Maliki, karena menggunakan pendekatan kemaslahatan (maslahah mursalah) serta membela kepentingan umat Islam. Paradigma ini dikuatkan malikiyah berdasarkan tradisi Abdullah Ibn Mas’ud yang dikembangkan dari Umar Ibn al-Khattab. Hanafi berpendapat bahwa malikiyah lebih dekat dengan realitas untuk mengambil keputusan hukum berdasarkan kemaslahatan umum.
Kiri Islam Hasan Hanafi mengkaji secara kritis seluruh tradisi legislasi (tasyri’) dengan menerima apa yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih, karena Syarî’at pada dasarnya berdiri di atas landasan kemaslahatan.Kemaslahatan merupakan prinsip kajian atas teks Al-Qur'an dan sunnah, ijma’, dan ijtihâd para fuqaha.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam (fiqih) adalah kemaslahatan. Kemaslahatan manusia yang universal atau dalam ungkapan yang lebih operasional, keadilan sosial. Karena sejak semula, syariat islam tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa Syarî’at Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir batin, duniawi, maupun ukhrawi semuanya mencerminkan prinsip kemaslahatan.
Munawir Sjadzali dan Ali Yafie memandang bahwa ketentuan-ketentuan dalam bidang mu’amalah terbuka kesempatan bagi pemikiran atau penalaran intelektual dalam mencari pelaksanaan Syarî’at dengan kepentingan masyarakat dan dan prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolak ukur utama. Karena aspek muamalah diberikan oleh nash dalam bentuk ketentuan yang bersifat umum yang dapat dikembangkan lebih lanjut guna mewujudkan kemaslahatan dan menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiaban yang berkepentingan secara adil.
At-Tûfî sendiri memandang bahwa ibadah adalah hak Allah, sehingga tidak mungkin dapat diketahui kecuali dari Allah sendiri. Berbeda dengan mu’amalah yang merupakan hak manusia yang diberlakukan untuk kemaslahatan manusia sendiri. Penegasan at-Tûfî bahwa mashlahât lebih didahulukan dari pada nash, apabila keduanya saling bertentangan, karena at-Tûfî sendiri menyelesaikannya dengan tahsis dan bayân.
Sementara itu, Masdar F. Mas’udi tidak memandang semua aturan dalam nash dapat dirubah karena kemaslahatan, tetapi Masdar membatasi pada aturan yang bersifat tehnis operasional. Karena bagi Masdar, Syarî’at adalah sarana dan mashlahât adalah tujuannya. At-Tûfî pun berpendapat demikian, bahwa mashlahât adalah sebab yang mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan. Penegasan at-Tûfî ini didasarkan kepada prinsip kemaslahatan yang lebih ditujukan pada kemanfaatan manusia. Sedangkan Mustafa Zaid mendahulukan mashlahât dari pada nash, apabila mashlahât itu bersifat qath’i dan darûri, meskipun bukan mashlahât yang kulli.
Dalam kemaslahatan yang menyangkut orang banyak (sosial-obyektif), otoritas yang berhak memberikan penilaian dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan, memalui mekanisme syûrâ untuk mencapai kesepakatan (ijma’). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian mashlahât melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak, dimana kita merupakan bagiannya itulah hukum yang tertinggi.
Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian mashlahat melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak bahwa hukum tertinggi yang mengikat. Apabila kesepakatan hukum dicapai dalam musyawarah, maka ia berfungsi sebagai hukum yang secara positif mengikat. Sebaliknya, apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah, maka daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang-orang yang mempercayainya yang hanya bersifat moral-subyektif, bukan formal obyektif. Patut disayangkan fiqih Islam yang tidak menaruh perhatian yang serius terhadap lembaga Syûrâ (musyawarah) sebagai mekanisme untuk mencapai kesepakatan umat. Bahkan dikatakan, ijma’ sudah tidak ada lagi.
Dalam masalah ini, Fazlur Rahman pun menyayangkan sikap kaum muslimin yang telah dikuasai otokrat-otokrat politik yang menyatakan bahwa musyawarah bersama (syûrâ) yang diajarkan oleh al-Qur’an tidak pernah dilembagakan. Padahal, menurut Rahman, dalam wawasan egaliternya mengenai badan sosial dan badan politik Islam, misalnya al-Qur’an telah menetapkan bahwa kaum muslimin harus memutuskan urusan-urusan mereka lewat musyawarah bersama atas pijakan yang sama. Rahman memandang kelompok dalam ahl as-Syûrâ adalah ahl al-hall wa al-‘aqd sampai akhirnya disebut ahl asy-Syaukah, yakni orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Jika dilihat dari jarak antara perkembangan politik yang sesungguhnya di dalam sejarah Islam dan tuntutan al-Qur’an akan ditemukan jurang yang benar-benar menganga. Al-Qur’an menuntut diskusi timbal balik dalam pengambilan keputusan. Tetapi, pengertian syûrâ tersebut dalam praktek mengalami distorsi makna. Yakni, dengan cara kepala negara mengangkat dan memilih orang-orang tertentu yang mempu berpikir dan berpengaruh.
2. Rekonstruksi teori muhkamât dan mutasyâbihât atau qath’i dan zhannî
Setelah menjelaskan bahwa kemaslahatan atau keadilan menjadi muara dari diberlakukannya hukum Islam, untuk kepentingan membangun fikih kiri, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Asad, kajian selanjutnya adalah menempatkan ayat muhkamât dan mutasyâbihât atau qath’i dan zhannî sebagai kunci pembuka dalam memahami al-Qur’an.
Dalam kitab-kitab Ushûl fiqh, telah disepakati para ulama usûl, bahwa qath’i adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nash. Dalam pengertian yang lebih sesuai, qath’i dalam hukum Islam adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan, yang notabene adalah jiwanya hukum. Ajaran qath’i adalah ajaran yang bersifat prinsip dan absolut, sebutlah misalnya ajaran-ajaran tentang kebebasan dan pertanggungjawaban individu, kesetaraan manusia (tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit dan suku bangsa) di hadapan Allah. Juga ajaran tentang keadilan, persamaan manusia di hadapan hukum, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, kritik dan kontrol sosial, menepati janji dan menujunjung tinggi kesepakatan, tolong-menolong untuk kebaikan, yang kuat melindungi yang lemah, musyawarah dalam urusan bersama, kesetaraan suami-istri dalam keluarga, dan saling memperlakukan yang ma’ruf (mu’âsyarah bi al-ma’ruf) diantara mereka berdua. Semua ajaran ini bersifat prinsip dan fundamental. Kebenaran dan keabsahannya pun tidak memerlukan argumen di luar dirinya. Nilai-nilai tersebut di atas membenarkan dan mengabsahkan dirinya sendiri.
Ayat-ayat qath’i ini kandungannya bersifat prinsip dan menjadi kekuatan moral-etik yang tidak diperselisihkan oleh berbagai kelompok atau menjadi lintas madzab dan agama. Karena itu, kebenarannya tidak dapat diperselisihkan. Dengan mendasarkan kepada ayat ini, tentu tidak kehilangan referensi tesktual sebagai dasar, sehingga tidak lepas dari kerangka acuan dalam merumuskan hukum.
Dalam bahasa lain, istilah qath’i dan zhannî disebut juga muhkamât dan mutasyâbihât. Dengan pendekatan transformatif, mengkaji ulang konsep muhkamât dan mutasyâbihât adalah penting sebagai pembuka bagi seluruh bangunan pemahaman terhadap ayat-ayat, yang berarti pemahaman ayat-ayat itu sendiri secara keseluruhan. Bertitik tolak dari mempersepsikan ayat sebagai “perlambang dari kebenaran” yang dipesankannya, maka pendekatan transformatif mendefinisikan ayat muhkamât dan mutasyâbihât bukan dari sudut verbal bahasa, melainkan dari sudut substansi makna yang dikandungnya. Ayat muhkamât adalah ayat yang menegaskan prinsip-prinsip secara eksplisit maupun implisit oleh setiap manusia dami fitrahnya sendiri sebagai manusia.
Sementara zhannî secara harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang qath’i (kategoris). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun hadis Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal. Ajaran zhannî tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri, tidak self evident dalam bahasa filsafatnya. Karena itu, berbeda dengan yang qath’i, ajaran zhannî terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Yang masuk kategori zhannî adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menterjemahkan yang qath’i (nilai kemaslahatan atau keadilan dalam kehidupan nyata.
Yang Jelas ketentuan-ketentuan agama yang dalam fiqih disebut sebagai ketentuan hukum (kecuali ketentuan etik-normatif tentang baik-buruk, halal-haram) adalah zhannî. Karena sifatnya zhannî, relatif, ia terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Karena itu, hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, prosentase pembagian waris, monopoli hak talaq bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan tehnis lain yang bersifat non-etis, masuk kategori yang zhannî. Dengan demikian, ajaran zhannî bisa dimodifikasi.
Seperti halnya dengan ayat muhkamât, ayat mutasyâbihât pun tidak mempersoalkan apakah dari sudut bahasanya bersifat tegas atau bersifat samar-samar. Yang menjadi titik pijak adalah bagaimana cita keadilan dan kemaslahatan sebagai prinsip yang fundamental diwujudkan.
Akan tetapi, implikasi dari pemahaman yang seperti itu adalah bahwa ayat muhkamât atau qath’i yang bersifat universal tidak memerlukan terobosan ijtihâd . Yang bisa dilakukan terobosan ijtihâd adalah ayat-ayat mutasyâbihât atau zhannî. Yakni definisi tentang mashlahât atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu yang nisbi. Kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita kemaslahatan atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma kemaslahatan-keadilan dan realitas sosial yang bersangkutan.
Sudirman Tebba sepakat dengan pemikiran Masdar. Menurutnya, pemahaman qath’i dan zhannî sekarang ini sudah tidak memadai lagi, karena munculnya tantangan baru dalam kehidupan sosial. Akibatnya membuat umat Islam berpegang kepada pengertian yang tersirat atau semangatnya, bukan pada yang tersurat menurut bahasa suatu nas atau ayat, sehingga yang semula dianggap qath’i menjadi tidak qath’i lagi.
Kesempurnaan ajaran al-Qur'an bukanlah dalam dataran tehnis yang bersifat detail, rinci dan juziyyahnya, melainkan pada dataran prinsipil dan fundamental. Dan ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-Qur'an selaku kitab suci agama adalah ajaran spiritualitas dan moral, ajaran tentang mana yang baik dan mana yang buruk untuk kehidupan manusia sebagai hamba Allah yang berakal budi. Sebagai acuan moral dan etika yang bersifat dasariah, al-Qur'an sepenuhnya sempurna. Pesoalan apa pun yang muncul dalam kehidupan manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya (dari sudut moral) dengan mengembalikan kepada ajaran-ajaran al-Qur'an yang prinsipil. Karena itu untuk menangkap petunjuk al-Qur'an atas persoalan-persoalan etika yang dihadapi dalam kehidupan nyata, terlebih dahulu harus mengenali prinsip-prinsip universal yang dicanangkannya.
D. Proyek Strategis Revolusi Sosial
Para ahli ushul (ushuliyyun) menyebut kesadaran praksis dari sebuah proses intellectual exercise (ijtihâd ) sebagai “buah”. Proses ijtihâd itu sendiri, dalam epistemologi interpretasi Hasan Hanafi melewati tiga tahap kerja hermeneutis; pertama, penguatan kesadaran historis, yaitu setelah melakukan uji otentisitas terhadap nash. Kedua penguatan kesadaran eidetis dalam bentuk validitas pemahaman dan interpretasi hermeneutik. Dan ketiga, kesadaran praksis datang terakhir untuk menanfaatkan ketentuan-ketentuan hukum, signifikansi perintah-perintah dan larangan-larangan, dan transformasi wahyu dari ide normatif ke gerakan sejarah.
Bagi Hanafi, praksis merupakan penyempurnaan kalam Tuhan di dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan untuk praksis. Hal ini karena wahyu al-Qur’an sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan di samping sebagai obyek pengetahuan.
Sebuah dogma, kata Hanafi, hanya dapat diakui eksistensinya jika disadari sifat keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan manusia. Karena, satu-satunya sumber legitimasi dogma adalah pembuktian yang bersifat praksis Menurut Hanafi, realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia sama dengan realisasi perbuatan ilahiyyah dan, dengan sendirinya, merupakan realisasi perbuatan kekuasaan (khalifah) Tuhan di atas bumi. Prinsip yang sama menjadi dasar penciptaan dan penerapan hukum-hukum Tuhan (al-ahkâm al-Syar’iyyah) di dunia. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (‘ilm Ushûl fiqh) dianggap ‘ilm al-tanzîl, yang dibedakan dari ‘ilm al-ta’wîl dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini menginginkan gerak dari manusia ke Tuhan, sementara yurisprudensi menginginkan transformasi Tuhan kembali menuju kehidupan manusia.
Fiqih Kiri dalam pembahasan ini juga ingin menjadi seperangkat aturan-aturan transenden yang mempunyai bobot praksis sebagaimana dogma dalam perbincangan dengan Hassan Hanafi di atas. Tentu saja praksisme fikih kiri bertitik tolak dari landasan teoritis fikih, yaitu teori-teori Ushûl fiqh yang sudah direvitalisasi.
Fiqih Kiri mengambil perhatian utama bahwa suburnya ketidakadilan di muka bumi ini bukan semata-mata karena kondisi internal, tetapi yang jauh lebih menentukan adalah justru faktor eksternal yang seringkali memunculkan menjadi pihak hegemonik-despotik baik di lingkup nasional maupun internasional. Bukan saja Fiqih Kiri ingin memuaskan rakyat yang dahaga akan keadilan melainkan juga menjadi jalan bagi permintaan tanggungjawab negara yang mengabaikan tugas-tugas pokoknya. Justru kehadiran Fiqih Kiri menjadi relevan bukan saja pada rezim yang represif, melainkan pada rezim yang menggantungkan posisinya di tiang gantungan badan-badan Internasional. Namun untuk menjelma menjadi gerakan yang meluas dan mendapat dukungan, Fiqih Kiri, patut untuk merintis beberapa praktek yang akan mendekatkannya pada tujuan utama, terciptanya tatanan keadilan. Di sinilah pentingnya untuk merumuskan agenda revolusi sosial sebagai bagian dari praksime Fiqih Kiri.
Bicara soal hukum di Indonesia pastilah yang muncul adalah kejengkelan dan kekecewaan. Tidak saja hukum berlaku secara diskriminatif, melainkan juga tidak lagi mampu menjalankan fungsi pengawas atas berbagai tindakan penyelewengan. Hukum sering diberlakukan sebagai alat kepentingan, buat siapa saja, bisa negara dan lebih sering untuk melindungi kepentingan pemodal. Dalam praktek hukum, sudah cukup banyak contoh bagaimana orientasi keadilan diselewengkan dan malah muncul gejala untuk menerima dan mentolerirnya. Terdapat banyak kisah yang bisa dijejer tentang bagaimana cerita memilukan para pencari keadilan. Mereka yang biasanya kaum miskin, terlunta dan tidak mendapat dukungan, justru sering menjadi alat mainan dan sasaran pemerasan, baik oleh aparat hukum maupun bunyi hukum itu sendiri.
Dalam kasus di atas, Fiqih Kiri bisa tampil sebagai inspirator bagi gerakan-gerakan Islam untuk segera memberi bantuan hukum dalam kasus-kasus sejenis di atas. Islam sendiri mengajarkan agar umat selalu berada bersama-sama dengan kaum dhu’afa (lemah) dan mustadh’afîn (teraniaya). Tujuan pemihakan Islam pada dua golongan ini karena prinsip keadilan dan kemaslahatan yang hendak dijunjung tinggi. Kata dhu’afa (orang kecil) dipakai dalam al-Qur’an untuk melukiskan kesenjangan natural atau kemiskinan, sedang kata mustadh’afîn (teraniaya) dipakai untuk menunjukkan adanya kesenjangan struktural. Untuk dua kategori inilah, al-Qur’an meminta kaum muslimin untuk serius membelanya, bahkan untuk sebuah kesenjangan struktural, kata perintah yang dipakai adalah “berperanglah”. Dengan merujuk pada kedua komitmen itu, maka sudah saatnya keberpihakan mewujud secara kongkret. Sebab keadaan yang menimpa kedua golongan ini bukan semata-mata karena salahnya mereka, melainkan banyak yang disebabkan oleh penindasan struktural, seperti bagaimana tanah yang dimiliki dirampas untuk “kepentingan umum”.
Sampai saat ini dapat disaksikan secara gamblang bagaimana kebijakan publik yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak terus berlangsung dan posisi umat Islam ternyata belum mampu untuk menjadi ‘pelindung dan pembela’ kaum lemah. Lemahnya gerakan Islam dalam mengambil peran ‘pembelaan’ ini disebabkan oleh banyak faktor : Pertama, adanya ‘daya kooptasi’ dari berbagai lembaga-lembaga keuangan internasioanl yang melemahkan sektor ekonomi rakyat seperti tukang becak, pedagang kaki lima, nelayan, maupun buruh. Ketidakmampunan menatap gerak modal yang berskala internasional dan konsolidasi aparatus negara telah membelenggu umat Islam untuk tidak ‘bergerak’ melakukan pembelaan. Kedua, lemahnya basis kesadaran fakta sosial pada kalangan umat Islam karena belenggu kesadaran individual yang lebih mendominasi. Sehingga jarang didengar umat Islam mempunyai solidaritas dengan tuntutan kenaikan upah buruh, protes kepemilikan tanah oleh petani atau tuntutan pengusutan pelanggaran HAM. Kesadaran individual ini mengakibatkan umat Islam berada dalam posisi yang teralienasi dari proses perjuangan sosial. Ketiga, tidak diketemukan kekuatan sosial yang wujudnya lembaga agama yang mampu menjadi komunikator ulung dalam menyiarkan berbagai persoalan ke publik. Kalangan umat beragama benar-benar dalam posisi terpinggirkan untuk beberapa isu strategis terutama menyangkut hukum dan HAM.
Berangkat dari persoalan itulah, maka kesadaran untuk menumbuhkan kekuatan kritis pada diri gerakan Islam perlu untuk dirintis. Sebab pada hakekatnya, ajaran Islam memberikan kepastian perlindungan kepada kaum lemah dalam lima aspek penting. Pertama, yang paling pokok adalah perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup (hifzh al-nafs). Kedua, perlindungan atas keyakinan (hifzh al-din), sehingga pada hakekatnya menekankan pada ajaran ‘tidak ada paksaan’ dalam memeluk keyakinan. Ketiga, perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-‘aql), yang mana Islam memuliakan pengetahuan dan menentang pelanggaran terhadap akal sehat. Keempat, perlindungan terhadap hak milik (hifzh al-mal), yang dalam konteks hukum Islam adalah keharaman mencuri dengan segenap variannya, termasuk korupsi tentunya. Kelima, hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik (hifzh al-nasl).
Kelima ketentuan ini yang menjadi dasar advokasi bagi gerakan-gerakan Islam. Fiqih Kiri bisa menjadi landasan pijak melalui fatwa yang disampaikan oleh ulama, baik perorangan maupun yang terhimpun dalam lembaga-lembaga ulama dan organisasi massa keagamaan. Fatwa yang mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengambil peran-peran advokasi diharapkan bisa efektif karena menyentuh aspek kesadaran keagamaan yang paling dalam, hal ini juga didorong oleh langkah untuk mengakomodasi tuntutan mayoritas umat yang selama ini banyak menjadi korban. Advokasi adalah strategi dakwah yang mampu mengatasi sekularisasi subyektif maupun obyektif yang muncul seiring dengan pertumbuhan industrialisasi. Dengan advokasi dakwah berjalan sesuai dengan tuntutan arus bawah yang sementara ini sering menjadi kendaraan kepentingan berbagai kelompok. Advokasi juga menjadi alat menekan efektif umat terhadap elit politik yang sering mengatakan berjuang atas nama Islam.
Dakwah yang dikumandangkan oleh umat dewasa ini lebih banyak berkutat pada penyadaran individual yang terkait dengan ibadah kepada Allah. Bahkan ada kelompok umat yang berpendapat bahwa seolah-olah masalah umat yang paling krusial adalah minimnya jumlah jamaah di masjid, sehingga ketika masjid penuh dengan jamaah, maka persoalan umat sudah selesai. Dakwah tidak menyentuk aspek struktural yang menjadi biang kesengsaraan umat, sehingga advokasi terhadap korban penggusuran, misalnya, bukan dianggap sebagai bagian dari dakwah yang diperintahkan oleh Allah. Hal ini memerlukan shift paradigm (pergeseran paradigma) di kalangan umat tentang makna dakwah dan jihad. Dan Fiqih Kiri mempunyai tugas memberi landasan normatif pergerseran paradigma itu, sehingga gerakan dakwah di kalangan umat Islam bisa menyentuh persoalan inti dalam masyarakat, tidak sekedar memadamkan kabut asap (smoke screen) yang dikiranya sebagai akar masalah yang sesungguhnya.
Transformasi sosial akibat pembangunan sudah terjadi di mana-mana. Karakteristik masyarakat modern sudah tampak dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya : “Apa peran dakwah Islam dalam transformasi sosial ini?” Apa kontribusi dakwah Islam dalam menyelamatkan manusia bukan saja dari tujuh dosa maut, tetapi juga dari proses dehumanisasi yang sekarang tengah berlangsung?”
Berbagai pertanyaan itu tidak akan terjawab kalau umat tidak mempunyai perspektif yang dapat digunakan untuk memotret masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Banyak kasus, umat tidak bisa melihat masalah karena sistem pengetahuannya tidak memungkinkan masalah itu tampak sebagai masalah. Untuk ini, sekali lagi perlu rumusan fiqih yang memungkinkan menjadi semacam perspektif yang dapat digunakan umat untuk mengurai masalah yang sedang terjadi secara tepat. Kemiskinan misalnya, dengan perspektif lama tampak oleh sebagian umat sebagai sesuatu yang wajar, karena itu bagian dari sunnatullah alias taqdir. Jika asumsi ini yang dipegang oleh umat, maka jangan berharap ada upaya-upaya strategis gerakan Islam untuk menyelamatkan umat dari kemiskinan. Fiqih Kiri bisa menjadi perspektif sekaligus tuntunan dalam melihat dan menyelesaikan masalah-masalah ini.
D. Penutup
Fiqih Kiri adalah alternatif atas kebekuan ajaran Islam dewasa ini yang telah dikungkung oleh bentuk-bentuk pemikiran korservatif yang selalu mempertahankan sesuatu yang sudah mapan. Fiqih Kiri merupakan bentuk progresivisme pemikiran Islam yang ingin mengembalikan misi ajaran Islam pada otentisitasnya, yaitu semangat pembebasan. Membebaskan umat dari bentuk-bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan yang telah membuat umat menjadi sengsara dengan kemiskinanya dan keterbelakangannya.
Mungkin ada sedikit kemiripan antara Fiqih Kiri dengan dengan perspektif Marxisme, yakni sama-sama berangkat dari asumsi adanya penindasan dalam masyarakat oleh kelompok tertentu dan perlu upaya strategis untuk melawan dan mengakhiri penindasan itu. Tetapi Fiqih Kiri bukan fiqih yang berbaju Marxisme atau Marxisme yang berbaju fiqih. Fiqih Kiri adalah manifestasi dari semangat pembebasan Islam yang ajaran normatifnya bisa dilacak dalam Kitab Suci (al-Qur’an) maupun contoh dalam perilaku para Nabi dan Rasul (sunnah) yang sempat terekam dalam sejarah.
Pelacakan ajaran pembebasan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah memerlukan metodologi yang tidak menjebak pada pemahaman yang sebatas tekstual atau literal. Jika terjebak, maka kekayaan dan keunggulan ajaran Islam yang bernilai luhur dan universal akan tertutupi. Metodologi dan pendekatan baru perlu dirumuskan secara serius sebagai alat bantu untuk melakukan reinterpretasi terhadap nash yang memungkinkan ditemukannya nilai-nilai kadilan, kemashlahatan, persamaan, perdamaian dan sebagainya. Dalam hal ini, melakukan revitalisasi ushul fiqh menjadi signifikan dan mempunyai bobot urgensi yang cukup tinggi untuk mendukung upaya-upaya hermeneutis ini.
Pada akhirnya, semua berpulang kepada kesungguhan para ulama, cendekiawan dan umat Islam secara keseluruhan untuk mewujudkan Fiqih Kiri ini menjadi kekuatan dalam melakukan revolusi sosial. Sebuah revolusi yang dimaksudkan untuk merekonstruksi tatanan sosial masyarakat sehingga lebih memungkinkan tumbuh kembangnya nilai-nilai kemaslahatan dalam masyarakat. Sehingga masyarakat yang adil, makmur, tanpa penindasan, dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
A.H. Ridwan, Pemikiran Hasan Hanafî tentang Rekonstruksi Tradisi Keilmuan Islam, cet.I, Yogyakarta : Ittiqa Press, 1998
Abd Wahhab Khallaf, Ushul al-Fiqh, Kuwait : Dar al-Qalam, 1978
Abdul Aziz Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.I, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996
Abdul Hamid Abu Sulayman, “Fiqih Islam”, dalam Syamsul Anwar (Ed), Islam, Negara dan Hukum, Cet. I, Jakarta : INIS, 1993
Abdul Wahab Khalaf, Masâdir at-Tasyri’ al-Islamî Fîma La Nassa Fîhi, Kuwait : Dâr al-Qalam, 1973
Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, Riyad : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Musytasyfâ min al-Usûl , Damaskus : Baid al-Husain, t.t.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Qur'an-Munawwir, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984
Ahmad Zakariya (peny), Prof.KH. Ibrahim Hosen dan Pembahasan Hukum Islam di Indonesia, Cet.I, Jakarta : Pustaka harapan, 1990
Ali Syari’ati, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, Bandung : Mizan, 1998
Ali Yafîe, “Posisi Ijtihâd dalam Keutuhan Ajaran Islam “, dalam Jalaluddin Rahmat (ed), Ijtihâd dalam Sorotan, Bandung : Mizan, 1994
_______, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung : Mizan, 1994
Anwar Ibrahim, Renaisans Asia, Bandung : Mizan, 1998
Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi Pembebasan, Bandung :, Mizan, 1999
Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî As-Syarî’ah, (Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t
Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî as-Syari’ah, Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.
Busthami Muhammad Said, Gerakan Pembaharuan Agama : Antara Modernisme dan Tajdiduddin, Cet. I, Bekasi : Wala Press, 1995
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal : Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta : Insist & Pustaka Pelajar, 2002
Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, Cet. I, Yogyakarta : Shalahuddin Press, 1987
_____________, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Iqbal Abdurrauf Saimina (Peny.), Bandung : Mizan, 1994
Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Bandung : Mizan, 2003
___________, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Miftah Faqih (pertj.), Yogyakarta : LkiS, 2003
___________, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta : LKIS, 2004
___________, Dialog Agama dan Revolusi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991
Husain Hamid Hasan, Nazâriyyah al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islâmî, Kairo : Dâr an-Nahdah al-‘Arâbiyah, 1971
Jalâl ad-Dîn Abd Ar-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fî at-Tasyri’, Beirut : Dâr al-Kutub al-Jami’, ttp.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummat, Bandung : Mizan, 1997
Listiyono Santoso dan Sunarto, “Memberikan Wacana Bagi Epistemologti Kiri : Sejumlah Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan”, dalam Epistemologi Kiri, Listiyono Santoso (ed.), Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003
Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari'at”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995
________________, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformatif”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (peny), Polemik Reaktualisasi, cet. i, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988
________________, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fiqih Pemberdayaan, Cet. 2, Bandung : Mizan, 1997
Muhammad Abd Azim az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fî usûl al-Qur'an, Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.
Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl , cet. I, Surabaya : Syirkah Maktabat Ahmad bin Sa’ad Ibn Nabhan, t.t.
Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl, Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t
Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, Dawâbit al-Mahlahah fî as-Syarî’ah al-Islamîyah, cet.2, Beirut : Muassisah ar-Risâlat , 1977
Mustafa Zaid, al-Maslahah fî at-Tasyri’ al-Islâmî wa Najm ad-Dîn at-Tûfî, t.t.p. Dâr al-Fîkr al-‘Arabi, 1954
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta : LkiS, 1994
Subhi Salih, Mabâhis fî Ulum al-Qur'an, cet. 9, Beirut : Dâr al ‘Ilm li al-Malayin, 1972
Sudirman Tebba, “Pembaharuan Hukum Islam Mempertimbangkan Harun Nasution”, dalan Zaim Ukhrawi dan Ahmadie Thaha (Peny), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Cet. I, Jakarta : LSAF, 1989
Wahbah az-Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, cet. 2, Damaskus : Dâr al-Fîkr, 1986
Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta : LkiS, 2000
Listiyono Santoso dan Sunarto, “Memberikan Wacana Bagi Epistemologti Kiri : Sejumlah Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan”, dalam Epistemologi Kiri, Listiyono Santoso (ed.), (Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003), hlm.15
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal : Dari Wacana Menuju Gerakan, (Yogyakarta : Insist & Pustaka Pelajar, 2002), hlm. xxxiii
Hassan Hanafi, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. VII, hlm. 81-82
Abd Wahhab Khallaf, Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Dar al-Qalam, 1978), hlm. 15
Hasan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi : Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, (Bandung : Mizan, 2003), hlm. 7
Wahbah az-Zuhaili, Usûl al-Fîqh al-Islamî,Juz II (Damaskus : Dâr al-Fikr, 1986) hlm. 803-804
Lihat Hasan Hanafi, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Miftah Faqih (pertj.), (Yogyakarta : LkiS, 2003) hlm. 160-177
Lihat karyanya Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 10-15
Lihat karyanya Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta : LkiS, 1994), hlm. 1-9
Mogok kerja, misalnya, dianggap sebagai tindakan yang melanggar akad antara pekerja dan pihak menejemen perusahaan, sehingga perilaku pekerja ini tidak boleh menurut ketentuan fiqih. Mengapa demikian? Karena fiqih diposisikan sebaqgai seperangkat aturan untuk menjaga stabilitas tanpa harus melihat aspekaspek penindasan, penganiayaan dan sebagainya.
Lihat Eko Prasetyo, Islam Kiri …op.cit., hlm. xxv-xlv
Gambaran sadis dan biadab itu dapat dilihat dalam al-Qur’an surat at-Tanwir : 8-9
Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi Pembebasan, (Bandung :, Mizan, 1999), hlm. 28-30; bandingkan dengan Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta : LkiS, 2000), hlm. 23-29
Lihat Ziaul Haque, Wahyu … op.cit., hlm. 216
Ibid., hlm. 226
Ibid., hlm. 45
al-Qur’an surat al-Anbiya’: 7-15
Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Qur'an-Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984), hlm. 255
al-Qur’an surat al-Baqarah : 254
al-Qur’an surat Ali Imran : 21
al-Qur’an surat Ali Imran : 116-117
Ali Syari’ati, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 45
Lihat Hassan Hanafi, “Apa Arti Kiri Islam” … op.cit., hlm. 128
Syari’at pada awalnya adalah sekumpulan prinsip-prinsip moral, hukum dan aqidah. Namun pada abad XIII Hijriyah, ketika reformulasi teologi Islam dikristalkan, untuk pertama kali kata syari'at mulai dipakai dalam pengertian yang lebih sistematis. Syari'at dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum (peraturan hukum) saja. Sedangkan teologi dikeluarkan dâri cakupannya. Lihat Abdul Hamid Abu Sulayman, “Fiqih Islam”, dalam Syamsul Anwar (Ed), Islam, Negara dan Hukum, Cet. I, (Jakarta : INIS, 1993), hlm. 123. Ibrahim Hosen membedakan antara fiqih dan syari'at. Menurutnya, Syari’at adalah yang telah dijelaskan secara tegas oleh nas Al-Qur'an dan Sunnah,sehingga bersifat qat’i. Sedangkan fiqih adalah yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas Al-Qur'an dan Sunnah sehingga bersifat zanni. Lihat Ahmad Zakariya (peny), Prof.KH. Ibrahim Hosen dan Pembahasan Hukum Islam di Indonesia, Cet.I, (Jakarta : Pustaka harapan, 1990), hlm. 103 - 104
Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Aziz Dahlan et.al., Cet.I, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid 4, hlm. 1108
Hukum di sini maksudnya adalah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis-Hadis Nabi yang pada dasarnya adalah ayat dan hadis hukum
Masdar F. Mas’udi, Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari'at, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995, hlm. 95
Jalâl ad-Dîn Abd Ar-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fî at-Tasyri’, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Jami’, ttp.), hlm. 12-13
Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, (Riyad : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980), hlm. 513
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl , cet. I, (Surabaya : Syirkah Maktabat Ahmad bin Sa’ad Ibn Nabhan, t.t.), hlm 242
Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, Dawâbit al-Mahlahah fî as-Syarî’ah al-Islamîyah, cet.2, (Beirut : Muassisah ar-Risâlat , 1977), hlm. 23
Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî As-Syarî’ah, (Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.) II, hlm. 29
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Musytasyfâ min al-Usûl , (Damaskus : Baid al-Husain, t.t.), hlm. 251
Husain Hamid Hasan, Nazâriyyah al-Maslahah fî al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo : Dâr an-Nahdah al-‘Arâbiyah, 1971), hlm. 6
Mustafa Zaid, al-Maslahah fî at-Tasyri’ al-Islâmî wa Najm ad-Dîn at-Tûfî, (t.t.p. Dâr al-Fîkr al-‘Arabi, 1954), hlm. 20
Wahbah az-Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, cet. 2, (Damaskus : Dâr al-Fîkr, 1986), hlm. 765
Ibid., hlm. 750
A.H. Ridwan, Pemikiran Hasan Hanafî tentang Rekonstruksi Tradisi Keilmuan Islam, cet.I, (Yogyakarta : Ittiqa Press, 1998), hlm. 35 - 36
Ibid., hlm. 36
Lihat Ali Yafîe, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam “, dalam Jalaluddin Rahmat (ed), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 71 dan 121
Lihat Abdul Wahab Khalaf, Masâdir at-Tasyri’ al-Islamî Fîma La Nassa Fîhi, (Kuwait : Dâr al-Qalam, 1973), hlm. 97-98.
Ibid., hlm. 111. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.), hlm. 131
Mustafa Zaid, al-Maslahah fî at-Tasyri’ … op.cit hlm. 181
Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat … op.cit., hlm. 99
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Iqbal Abdurrauf Saimina (Peny.), (Bandung : Mizan, 1994), lhm. 116
Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, Cet. I, (Yogyakarta : Shalahuddin Press, 1987), hlm. 114
Lihat Busthami Muhammad Said, Gerakan Pembaharuan Agama : Antara Modernisme dan Tajdiduddin, Cet. I, (Bekasi : Wala Press, 1995), hlm. 133-134 dan hlm. 169. Sayyid Ahmad Khan memandang bahwa ayat-ayat muhkamat bersifat asasi yang mengandung dasar-dasar aqidah, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat bersifat simbolik yang menerima lebih dari satu penafsiran. Di samping itu, Sayyid Ahmad Khan melihat bahwa al-Qur'an memiliki makna pokok dan makna sampingan yang dipegaruhi oleh kondisi lingkungannya. Harun Nasution, seorang pemikir muslim Indonesia ketika hendak melakukan pembaharuan dalam Islam juga membedakan antara ajaran yang qat’i dan zanni. Distingsi ini nampaknya begitu penting bagi Harun, karena disinilah anggapannya diletakkan ruang untuk dilakukan ijtihad. Lihat Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat … op.cit, hlm. 99
Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fiqih Pemberdayaan, Cet. 2, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 28
Ada banyak perbedaan pendapat dalam mendefînisikan antara muhkan dan mutasyabih. Pertama, muhkâm adalah yang dalâlah-nya jelas dan tidak mengandung nasakh. Mutasyâbih adalah yang dalâlah-nya tidak jelas, yang tidak diketahui maknanya secara aqli dan naqli. Kedua, muhkâm adalah yang diketahui maksudnya, baik dengan penjelasan maupun dengan pentakwilan. Mutasyâbih adalah yang telah dibakukan oleh Allah seperti hari kiamat. Katiga, muhkam adalah yang hanya satu takwilnya dan mutasyâbih adalah yang takwilnya banyak. Keempat, muhkâm adalah yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan penjelasan, sedangkan mutasyâbih adalah yang tidak berdiri sendiri dan bahkan memerlukan penjelasan. Kelima, muhkâm adalah yang benar dan teratur yang menghantarkan kepada makna yang lurus tanpa manaf. Mutasyâbih adalah yang tidak bisa diketahui maknanya dari aspek bahasa kecuali dikaitkan dengan tanda dan qarinah. Keenam, muhkâm adalah yang maknanya jelas yang tidak menemukan kesulitan untuk memahaminya. Mutasyâbih adalah sebaliknya. Ketujuh, muhkâm adalah yang dalalahnya râjih, sedang mutasyâbih adalah yang dalalahnya tidak râjih. Lihat Muhammad Abd Azim az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fî usûl al-Qur'an, (Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.), hlm. 271-274. Bandingkan dengan Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl, (Beirut : Dâr al-Fîkr, t.t.), hlm. 31-32. Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menafsirkan surat Ali Imran : 7. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa mutasyabih tidak diketahui takwilnya. Mereka mengatakan : “Kami beriman setiap hal yang datang dâri ‘Tuhan kami’ “. Akan tetapi Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa wakafnya terletak pada kata ar-Râsikhûna fî al-“ilm … Dengan demikian mereka mengetahui takwilnya. Pendapat ini diperjelas oleh Abu Ishaq asy-Syirazi. Dia mengatakan :”Tidak ada suatu pun yang dimatikan oleh Allah dengan ilmunya, melainkan ulama mengetahuinya. Karena Allah memberikan ini semua untuk menguji ulama. Seandainya mereka tidak mengetahui maknanya, maka mereka sama saja dengan orang awam. Sementara ar-Ragb al-Isfahani mengambil jalan tengah dengan membagi mutasyabih menjadi tiga macam. Pertama, yang tidak ada cara untuk mengetahuinya seperti hari Kiamat. Kedua, yang diketahui sebab-sebabnya oleh manusia seperti kata-kata asing. Ketiga, yang hanya diketahui oleh orang yang rasih. Lihat Subhi Salih, Mabâhis fî Ulum al-Qur'an, cet. 9, (Beirut : Dâr al ‘Ilm li al-Malayin, 1972), hlm, 282-283
Masdar F. Mas’udi, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformatif”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (peny), Polemik Reaktualisasi, cet. i, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 185. Lihat pula Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat … op.cit., hlm. 98
Sudirman Tebba, “Pembaharuan Hukum Islam Mempertimbangkan Harun Nasution”, dalan Zaim Ukhrawi dan Ahmadie Thaha (Peny), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Cet. I, (Jakarta : LSAF, 1989), hlm. 140-142
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi ..., hlm. 27
Hassan Hanafi, Islamologi I … op.cit., hlm. 160
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 22
Ibid., hlm. 17
Hassan Hanafi, Islamologi I … op.cit, hlm. 120
Lihat Anwar Ibrahim, Renaisans Asia, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 17
Arti kata dhu’afa dapat dilihat dari ayat ini : “Apakah ada seorang diantara kamu yang ingin mempunyai kebun korma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang ia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil (dhu’afa). Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu memikirkannya” (Q.S. al-Baqarah : 266)
Arti kata dhu’afa dapat dilihat dari ayat ini : “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdoa “ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri ini (Mekkah) yang dhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (Q.S. an-Nisa’ : 75)
Eko Prasetyo, Islam Kiri … op.cit., hlm. 238-241
Lima aspek penting itu dikenal sebagai tujuan syari’ah yang oleh al-Syatibi sebagai mashlahat. Lihat Asy-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî as-Syari’ah, Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.
Sekularisasi subyektif terjadi bila keterkaitan antara pengalaman keagamaan dan pengalaman sehari-hari terputus. Banyak cara agar umat Islam tidak terjatuh dalam sekularisasi subyektif, yakni dengan menjadi takmir masjid atau memelihara anak yatim. Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummat, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 45
Sekularisasi obyektif terjadi bila dalam kenyataan sehari-hari agama sudah dipisahkan dari gejala yang lain, misalnya dari ekonomi dan politik. Lihat Ibid., hlm. 46
Diposkan oleh Anjar Nugroho, S.Ag., M.S.I di Purwokerto Senin, Juli 09, 2007
2 komentar:
Dyah Fitriana mengatakan...
Cukup progresif dan orisinil, tp bangunan teorinya masih berantakan....
Sabtu, 14 Juli, 2007
Eti Fauziyah mengatakan...
TANGGAPAN TENTANG MAKALAH PEMIKIRAN ISLAM
FIQIH KIRI : REVITALISASI USHÛL FIQH
UNTUK REVOLUSI SOSIAL

Oleh :
ETI FAUZIYAH
0606010006

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila didalam saya menanggapi ada kesalahan atau bahasa yang kurang berkenan di hati Bapak. Kalau ada kesalahan itu memang semata-mata keterbatan diri saya, kalau ada kebenaran itu datangnya hanya dari Alloh semata.
1. Dalam penulisan makalah Bapak menurut saya ada beberapa penggunaan kata yang kurang konsisten penulisannya sehingga pembaca, pengamat, atau penelaah akan mempunyai banyak persepsi negatif (memberikan penilaian kurang) kepada makalah/penulis, apalagi kalau kata-kata tersebut merupakan salah satu pembahasan utama dalam suatu makalah yang dipaparkan.
Seperti contoh kata : “Ushûl Fiqh” dengan “Ushul Fiqih”
“Fiqih” dengan “Fikih”
2. Pemilihan kata “problem” apakah ini sudah merupakan suatu kata yang baku dalam bahasa Indonesia atau belum ?. Apakah tidak sebaiknya menggunakan pilihan kata “masalah”.
3. Sepenggal dari paragraf “Fiqih Kiri mempunyai orientasi dan misi pembebasan sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam progresif. Pembebasan dan Fiqih Kiri bermakna melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan sosial yang penuh penyimpangan dan ketidakadilan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul dahulu. Masing-masing Nabi dan Rasul mendapat tugas risalah yang muaranya adalah pembebasan manusia dari belenggu kedhaliman dan tirani”.
Pada kata “Kiri” apakah tidak sebaiknya diganti dengan kata yang berkonotasi positip, karena menurut saya kata-kata “kiri” dalam masyarakat akan banyak mengartikan negatif.
Demikian, kurang lebihnya sekali lagi saya mohon maaf.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Selasa, 24 Juli, 2007
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)


SELAMAT DATANG
Selamat datang di situs kami, semoga anda mendapatkan sesuatu yang bermanfaat. Kami tunggu tanggapan anda.

Bersama si Bungsu


Mengenai Saya
Anjar Nugroho
Lihat profil lengkapku

Apakah anda tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam situs ini?

Arsip Pemikiran


Jaringan
• Toko Jilbab
• Ilmu Falaq
• Muhammadiyah
• UMP

Agenda

Wisuda Pascasarnaja





ssss

Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh : Larangan dalam Islam
1. Perkara-perkara yang dilarang adalah seluruh perkara yang telah turun larangan atasnya. Larangan adalah lawan dari perintah, yakni tuntutan untuk menahan diri dari satu perbuatan.
2. Bentuk-bentuk larangan adalah (a) Laa naahiyah (la yang menunjukan larangan), (b) Peringatan dengan menggunakan kata iyyaaka, (c) Ultimatum dan ancaman atas satu perbuatan, (d) Celaan atas pelakunya dan keharusan membayar kaffarah akibat melakukannya, (e) Perkataan laa yanbaghi (tidak sepatutnya), (f) Perkataan tersebut dalam bahasa al-Qur’an dan bahasa Rasul adalah untuk larangan secara syar’i maupun logika, (g) Lafazh maa kaana lahum kadza (tidak sepatutnya mereka melakukan ini) atau lam yakun lahum (seharusnya mereka tidak boleh melakukan ini), (h) Ancaman hukuman hadd atas pelakunya, (i) Lafazh : laa yahillu (tidak halal) atau laa yashluhu (tidak baik), (j) Pemberian sifat rusak dan bathil atas suatu perbuatan, misalnya perbuatan itu adalah tipu daya syaitan, perbuatan syaitan, Allah tidak menyukai dan idak meridhainya, tidak merestui pelakunya, tidak berbicara dan tidak melihatnya.
3. Pada asalnya, statemen syari’at yang berisi larangan terhadap suatu perkara hukumnya adalah perkara itu harus ditinggalkan secara mutlak. Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : “Jika aku melarang kalian dari suatu perkara maka tinggalkanlah” (Muttafaq ‘alaih).
4. Boleh jadi larangan itu bukanlah karena perbutan itu sendiri, namun karena faktor mafsadah (kerusakan) yang diakibatnya. Ini merupakan konsekuensi kaidah Saddudz Dzaraa’i atau dalam kata lain : ‘Tidakan pencegahan terhadap penyebab timbulnya mafsadah’. Kaidah ini termasuk kaidah yang sangat agung dalam syariat. Akan tetapi, perkara yang dilarang berdasarkan kaidah ini adakalanya dibolehkan untuk sebuah maslahat yang lebih besar. Sebagai contoh : Dibolehkan melihat calon istri untuk tujuan meminang dan sejenisnya. Melihat wanita bukan mahram diharamkan karena dapat menyeret kepada mafsadah (kerusakan). Dan apabila maslahat yang lebih besar lagi daripadanya, maka itu artinya perkara tersebut tidak menyeret kepada kerusakan.
5. Konsekuensi sebuah perkara terlarang (haram) adalah larangan terhadap seluruh perkara yang mengarah kepadanya. Termasuk di dalamnya adalah pengharaman terhadap al hiil (tipu daya atau pengicuhan) yang bermuara pada perkara yang diharamkan.
6. Larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap perkara yang tidak bisa dilaksanakan (larangan tersebut) kecuali dengan menjauhinya. Jika bercampur antara daging bangkai dengan daging yang disembelih secara syar’i, maka seluruhnya menjadi haram. Daging bangkai haram dimakan karena ia adalah bangkai, dan daging yang disembelih secara syar’i menjadi haram karena terdapat kesamaran padanya. Sebenarnya yang wajib dijauhi hanyalah daging bangkai saja, namun dalam kondisi seperti itu, hal tersebut tidak bisa terlaksana kecuali dengan menjauhi kedua daging itu sekaligus karena adanya kesamaran.
7. Pengharaman sesuatu secara mutlak berarti larangan terhadap setiap bagian-bagiannya. Kaidah menyebutkan bahwa larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap bagiannya selama tidak ada pengecualian yang shahih dan jelas.
8. Larangan itu menunjukan (bahwa) mafsadah yang terdapat pada perkara yang dilarang lebih besar daripada maslahatnya. Asas dasarnya adalah, setiap hamba harus meyakini bahwa apa saja yang Allah perintahkan pasti membawa maslahat dan apa saja yang dilarang oleh-Nya pasti menimbulkan mafsadah dan bencana. Oleh sebab itu, Allah memuji amal shahih dan memerintahkan supaya berlaku baik dan mengadakan perbaikan. Dan Allah melarang berbuat kerusakan, Allah tidak menyukai dan tidak meridhainya.
9. Jika larangan itu tertuju kusus pada sebuah perbuatan, berarti perbuatan itu rusak.
10. Perkara-perkara yang dilarang terdiri atas beberapa tingkatan. Ada yang jelas-jelas haram, ada yang makruh tahrim (makruh bermakna haram) dan ada yang makruh tanzih.
11. Lafazh-lafazh pengharaman terdiri atas beberapa tingkatan, yang paling tinggi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu, kemudian teguran dan celaan terhadap sesuatu, kemudian pengharaman terhadap sesuatu, kemudian makruhnya (dibencinya) sesuatu perbuatan.
12. Pada dasarnya, sebuah larangan dalam statemen syari’at konotasi hukumnya adalah haram. Konotasi hukum ini tidak boleh digeser melainkan dengan adanya pengecualian atau indikasi pengalihan hukum yang kuat.
13. Kata makruh dalam perkataan Allah dan Rasul-Nya dan dalam istilah ulama salaf (dahulu) biasanya digunakan untuk perkara haram, dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa ta’ala yang artinya : “Semua itu kejahatannya amat dibenci disisi Rabbmu.” (QS al-Israa’ 38).
14. Ulama-ulama mutaakhirin banyak yang keliru, mereka membawakan perkataan-perkataan para ulama yang menyebutkan kata ‘makruh’ kepada pengertian makruh dalam ilmu ushul fiqh yang baru dikenal kemudian. Mereka menafikan hukum haram terhadap perkara-perkara yang dikatakan makruh oleh ulama terdahulu. Kemudian mereka terlalu longgar dalam penggunaan istilah ini, mereka bawakan kepada makruh tanzih! Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi kerancuan, kekeliruan yang fatal dan kerusakan yang parah.
15. Makruh, menurut para ulama Ushul Fiqh Kontemporer adalah termasuk di antara lima macam hukum takfili, yaitu sesuatu yang dituntut untuk meninggalkan apa yang terkandung di dalamnya, bukan merupakan suatu kewajiban karena pelakunya tidak dicela. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkannya tidaklah dicela.
16. Terus-menerus mengerjakan perkara makruh dapat merusak ‘adaalah (keshalihan) dan mengeluarkan pelakunya dari golongan orang yang berhak mendapat kesaksian baik.
3. Jika kalian merasa takut berbuat lalim kepada anak-anak yatim, karena merupakan dosa besar, maka takutlah juga akan penderitaan yang dialami oleh istri-istri kalian jika kalian tidak berlaku adil kepada mereka dan jika kalian kawin dengan lebih dari empat istri. Kawinilah, di antara mereka itu, dua, tiga atau empat, jika kalian yakin akan mampu berlaku adil. Jika kalian merasa takut tidak bisa berlaku adil, maka cukup seorang saja. Atau, kawinilah budak-budak perempuan kalian. Hal itu lebih dekat untuk menghindari terjadinya kezaliman dan aniaya,(1) juga lebih dekat untuk tidak memperbanyak anak, yang membuat kalian tidak mampu memberikan nafkah. ---------------(1) Prinsip poligami telah disyariatkan sebelumnya oleh agama-agama samawi selain Islam. Syariat Tawrt menetapkan seorang laki-laki boleh menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Disebutkan bahwa para nabi menikah dengan puluhan wanita. Tawrt adalah kitab perjanjian lama yang menjadi rujukan orang Nasrani manakala mereka tidak menemukan ketentuan hukum dalam Injl atau risalah-risalah rasul yang bertentangan dengannya. Akan tetapi belum pernah didapatkan ketentuan yang dengan jelas bertentangan dengan Injl. Pada abad pertengahan, gereja membolehkan praktek poligami. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Eropa, para raja banyak melakukan praktek poligami. Dalam hal ini, Islam berbeda dengan syariat agama samawi lainnya. Dalam agama Islam, poligami ada batasannya. Islamlah agama samawi pertama yang membatasi poligami. Ada tiga syarat mengapa Islam membolehkan poligami. Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka (harus berbuat adil). Ketiga, suami harus mampu memberikan nafkah kepada semua istrinya. Para ahli fikih menetapkan ijm' (konsensus) bahwa barangsiapa merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap wanita yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya. Namun, larangan itu hanya terbatas pada tataran etika keagamaan yang tidak masuk dalam larangan di bawah hukum peradilan. Alasannya, pertama, bersikap adil terhadap semua istri merupakan persoalan individu yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Kedua, kemampuan memberi nafkah merupakan perkara nisbi yang tidak bisa dibatasi oleh satu ukuran tertentu. Ukurannya sesuai dengan pribadi masing-masing. Ketiga, sikap zalim atau tidak mampu memberi nafkah berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi kemudian. Kesahihan sebuah akad tidak bisa didasarkan pada prediksi, tetapi harus didasarkan pada hal-hal yang nyata. Kadang-kadang seorang yang zalim bisa menjadi adil, dan seorang yang kekurangan harta pada suatu saat akan mampu memberi nafkah. Sebab, harta kekayaan tidak bersifat langgeng. Meskipun demikian, Islam menentukan bila seorang suami berlaku zalim terhadap istrinya atau tidak mampu memberikan nafkah kepadanya, maka istri berhak menuntut cerai. Namun demikian, juga tidak ada larangan bagi suami untuk tetap meneruskan ikatan pernikahannya bila hal itu merupakan pilihan dan kehendaknya. Dengan membolehkan poligami yang dipersempit dengan syarat-syarat di atas, Islam telah menanggulangi berbagai masalah sosial, di antaranya: Pertama, ada kemungkinan jumlah laki-laki berada di bawah jumlah wanita, terutama pada masa-masa setelah terjadi perang. Di beberapa negara Eropa, misalnya, setelah terjadi perang, perbandingan antara laki-laki dan wanita layak nikah mencapai 1:7. Maka merupakan kehormatan bagi seorang wanita untuk menjadi istri, meskipun harus dimadu, daripada harus berpindah-pindah dari satu lelaki ke lelaki lain. Kedua, kadang-kadang terdapat laki-laki dan perempuan yang tidak bisa untuk tidak melakukan hubungan seksual, baik secara sah atau tidak. Maka, demi kemaslahatan umum, akan lebih baik kalau hubungan itu dilegitimasi oleh agama. Bagi wanita, lebih baik menjadi istri daripada berpindah tangan dari yang satu kepada yang lainnya. Meskipun dibolehkannya poligami ini memiliki dampak negatif, tetapi dampak itu jauh lebih kecil daripada jika poligami dilarang, sebab terbukti dapat mencegah terjadinya masalah sosial yang lebih besar dari sekadar berpoligami. Ketiga, tidak mungkin seorang wanita kawin dengan laki-laki beristri kecuali dalam keadaan terpaksa. Kalaupun istri pertama akan menderita lantaran suaminya kawin lagi dengan wanita lain, maka wanita lain itu juga akan mengalami penderitaan lebih besar jika tidak dikawini. Sebab ia bisa menjadi kehilangan harkatnya sebagai wanita atau menjadi wanita tuna susila. Sesuai dengan kaidah yurisprudensi Islam, Ushl al-Fiqh, risiko yang besar dapat dihindari dengan menempuh risiko yang lebih kecil. Keempat, kadangkala seorang istri menderita penyakit yang membuatnya tidak bisa melakukan hubungan seksual atau mengalami kemandulan. Maka perkawinan dengan wanita lain akan membawa dampak positif bagi yang bersangkutan, di samping dampak sosial. Karena itulah Islam membuka pintu poligami dengan sedikit pembatasan, tidak menutupnya rapat-rapat. Islam adalah syariat Allah yang mengetahui segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.


GENOSIS TAREKAT NAQSYABANDI
Oleh : Ir. Ahmad Subaidy
Terbentuknya tarekat naqsyabandi melalui beberapa fase. Fase pertama, Pra Sejarah berdirinya tarekat Naqsayabandiyya, belum punya identitas. Fase kedua, Periode Formasi Tarekat Naqsyabandi, terlihat identitasnya sebagai sebuah perkumpulan persaudaraan sufi. Fase ke-tiga, periode perkembangan dan penyebaran Tarekat Naqsyabandi, menjadi sebuah perkumpulan besar yang terorganisir dengan baik dan rapi.
Tarekat Naqsyabandi merupakan satu-satunya tarekat yang memiliki Silsilah transmisi pengetahuan melalui pemimpin pertama ummat Islam, Abu Bakar as-Sidiq. Tidak seperti tarekat-tarekat lainnya, dimana Silsilah-nya berpangkal dari salah satu pemimpin spiritual dan Imam Syi’ah, yaitu Imam Ali Ibn Abi Thalib.
Salah satu Karakter tarekat Naqsyabandi adalah tergambar melalui fakta bahwa kesesuaian-nya dengan hukum-hukum Islam merupakan suatu hal yang teramat penting dalam perkumpulan ini. Ketaatan yang mendalam terhadap hukum-hukum syariat adalah thema yang sering di tekankan oleh banyak kalangan Naqsyabandi dalam mendefinisikan jalan mistik mereka.
Dalam perkembangannya Tarekat Naqsyabandiyyah tersebar luas di Asia tengah, Volga, Kaukasia, Barat laut dan Barat daya China sampai ke Indonesia, sub-kepulauan India, Turki, Eropa dan Amerika Utara.
Tarekat Naqsyabandiyyah, lahir dan di formalkan dengan menggunakan nama salah satu ahli Silsilah yang terkenal dan memiliki banyak pengikut di berbagai pelosok Dunia Islam. Ia adalah Muhammad Ibn Muhammad Baha’ al-Din al-Naqsyabandi, yang lahir dari kota Hinduwan atau kota Arifan, Bukhara Uzbekistan pada tahun (717 H/1318 M – 791 H/1389 M).
Tradisi Naqsyabandi tidak menganggap Baha’ al-Din al-Naqsyabandiyah sebagai pendiri tarekat, atau dalam pengertian lain Tarekat Naqsyabandi bukan berawal darinya. Akan tetapi karena kebesaran namanya, sebagai seorang tokoh sufi yang besar dan pemimpin dzikir yang di hormati dan di cintai. Namanya diabadikan dan digunakan sebagai bentuk penghomatan padanya.
Ada 3 fase periode pembentukan Tarekat Naqsyabandiyya. :
Fase pertama, Pra Sejarah berdirinya tarekat Naqsayabandiyya.
Pada fase pertama periode pra sejarah Tarekat Naqsyabandi di sebutnya sebagai “Periode protohistoris” . Disebut sebagai periode protohistoris karena Tarekat Naqsyabandi pada masa itu belum mempunyai identitas, karena tokoh-tokohnya atau garis Silsilahnya tidak dianggap sebagai eksklusif milik Tarekat Naqsyabandiyah yang menggunakan paham sunni Salah satu contoh-nya adalah Saidina Ja’far as-Sodiq. Dia adalah Imam Syiah ke 6 dari garis keturunan Ayahnya Imam Baqir sebagai Imam syiah ke 5, akan tetapi dari garis keturunan Ibunya ia adalah cucu saidina Qosim Bin Muhammad Bin Abu Bakar as-Siddiq, dan cicit dari Abu Bakar Siddiq. Imam Ja’far as-Sodiq dalam transmisi ke Ilmuawannya lebih condong ke Ibunya putrid Saidina Qosim dan mengenal Ilmu-ilmu Agama langsung dari kakeknya Saidina Qosim. Garis Silsilah pada periode ini dimulai dari:
• Syaikh Abu Ali Fadhlal bin Muhammad Ath-Thusi al-Farmadi
• Syaikh Abu Hasan Ali bin Abu Ja’far al-Kharkani
• Syaikh Abu Yazid Thaifur bin Adam bin Syarusyan al-Busmati
• Saidina Imam Ja’far as-Sodiq
• Saidina Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddiq
• Saidina Salman al-Farizi
• Saidina Abu Bakar as-Shidiq
• Nabi Muhammad saw.
Pada periode protohistoris ini, Tarekat Naqsyabandi juga disebut sebagai Tarekat Uwaysi. Disebut demikian karena inisiasi (bay’ah) tidak selalu di lakukan oleh mursyid yang masih hidup dan selalu hadir secara fisik, akan tetapi inisiasinya dapat dilakukan oleh mursyid yang kehadirannya secara spiritual (Rohanyah) baik syeakh yang masih hidup maupun syeakh yang sudah meninggal sekalipun atau pula melalui Nabi Khidir.
Dinamakan Tarekat Uwaysi berkenaan dengan tokoh rohani atau spiritual pada zaman sahabat, yaitu Uwaysi al-Qorni. Disebutkan bahwa Uwaysi al-Qorni selalu berjumpa dengan Nabi walaupun tidak pernah berjumpa secara fisik, perjumpaanya selalu melalui perjumpaan rohani.
Fase kedua, Periode Formasi Tarekat Naqsyabandi
Pada fase kedua ini, sejarah Tarekat Naqsyabandi mulai terlihat identitasnya sebagai sebuah perkumpulan persaudaraan sufi. Identitas Tarekat Naqsyabandi berawal atau bersumber dari Guru Sufi besar yang hidup se-zaman dengan Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Saleh Zangi Dost Jilani (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani), yaitu Syaikh Abu Ya’kub Yusup al-Hamadani (w 1140 M).
Syaikh Abu Ya’kub Yusup al-Hamadani, memiliki 2 orang murid yang sekaligus sebagai khalifahnya dalam menyebar luaskan ajaran-ajarannya, yaitu Syaikh Ahmad al-Yasawi (w 1169 M), dan Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani (w 1220 M).
Syaikh Ahmad al-Yasawi sebagai khalifah menyebarkan ajaran gurunya dengan membentuk suatu perkumpulan persaudaraan sufi, yaitu Tarekat Yasawi. Yang penyebarannya dari Asia tengah hingga Turki dan Anatolia.
Sedangkan Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani dalam menyebarkan ajaran gurunya di lakukan dengan membentuk Tarekat Kwajagan (cara khoja atau guru). Adapun penyebarannya berada pada sekitar daerah Transoksania.
Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani dengan tarekat kwajagan-nya merupakan pilar dasar terbentuknya Silsilah Tareqat Naqsyabandi. Dan dari sanalah ruh gnosis Islam dan suksesi ajaran-ajaran Syaikh Abu Ya’qub Yusup al-Hamadani terbentuk dan melembaga kedalam suatu bentuk Silsilah yang tidak pernah putus. Adapun suksesi pewarisan ajaran Syaikh Abu Ya’qub Yusup al-Hamadani terurai kedalam suatu Silsilah, sebagai berikut:
• Syaikh Muhammad Baha’ al-Din al-Naqsyabandi ibn Muhammad as-Syariful Husaini al-Hasani al-Bukhari (w 1389 ), Ia mengambil dari ……..
• Syaikh Sayid Amir Kulali ibn Sayid Hamzah (w 1371 ), Ia mengambil dari …….
• Syaikh Muhammad Baba al-Samasi (w 1340), Ia mengambil dari ……..
• Syaikh Azizan Ali al-Ramitani (w 1306), Ia mengambil dari ……..
• Syaikh Mahmud al-Anjiri Faqhnawi (w 1272), Ia mengambil dari …….
• Syaikh Arif ar-Riwiqari (w 1259), Ia mengambil dari …….
• Syaikh Abdul Khaliq Guddawani (w 1220), Ia mengambil dari …..
• Syaikh Abu Ya’qup Yusup al-Hamadani (w 1140).
Selanjutnya dalam tarekat Kwajagan melalui Syaikh Abdul Khaliq Kudawani, gurunya menetapkan delapan prinsip dasar dalam ajarannya. Dan kedelapan prinsip prinsip dasar tersebut menjadi dasar dari Tarekat Naqsyabandi. Kedelapan prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
(1). Husy dar dam,
(2). nazhar bar qadam,
(3). safar dar watan,
(4). khalwat dar anjuman,
(5). yadkard,
(6). bazgasyt,
(7). nigah dast, dan
(8). yads dast.
Dari dasar-dasar ajaran syaikh Abu Ya’qub Yusup al-Hamadani, selanjunya oleh Syaikh Baha’ al-Din al-Naqsyabandi menambah 3 prinsip utama sebagai penyempurnaan. Ke tiga prinsip tambahan itu, adalah
(1). Wuguf zamani,
(2). Wuquf ‘adadi, dan
(3). Wuqub qalbi.
Ke-sebelas prinsip tersebut selanjutnya dan seterusnya semenjak abad 13 dan 14 yang silam telah di nisbatkan pada Tarekat Naqsybandi, dan sekaligus sebagai cikal bakal dan pilar dasar terbentuknya sebuah gnosis Islam Tarekat Naqsyabandi.
Sejak di nisbatkannya nama Naqsyabandi dari Syaikh Baha’ al-Din sebagai Nama dan Identitas dalam perkumpulan tarekat yang sebelumnya berupa tarekat khwajagan, Tarekat Naqsyabandi semakin masyhur dan memiliki pengaruh yang sangat luas dari masa ke masa. Figur utama Syaikh Baha’ al-Din tidak hanya di kenal sebagai seorang sufi besar akan tetapi juga di kenal sebagai seorang tokoh penasehat utama sultan, yang tegas dan berani serta adil pada masa pemerintahan sultan Khalil (w 1347). Namanya di catat dalam sejarah kesultanan Samarkand. Semua kemajuan yang di capai oleh ke sultanan tidak dapat dilepaskan dari peran serta dan keterlibatan Baha’ al-Din.
Fase ke-tiga, periode perkembangan dan penyebaran Tarekat Naqsyabandi
Pada periode ini, Tarekat Naqsyabandi telah menjadi sebuah perkumpulan besar yang terorganisir dengan baik dan rapi. Pengikut-pengikut Tarekat Naqsyabandi tidak hanya orang-orang yang menginginkan dan mencari pengetahuan spiritual, akan tetapi sejumlah ahli figih, ahli tafsir dan ahli hadist berbai’at kepada Syaikh Baha’ al-Din. Sederet Nama besar ahli Agama menjadi khalifah Syaikh Baha’ al-Din, seperti Khwaja Ala’ al-Din al-Aththar (w 1400) seorang ahli hadist, dan theology Islam, Khwaja Muhammad Parsa (w 1419) seorang ahli tafsir Al-Quran, dan bersama Ya’qub al-Charki menulis Tafsir Al-Quran, Khwaja Sa’id al-Din Kasyghari (w 1459) seorang teolog dan ahli Filasafat. Pada periode ini yang paling menonjol adalah murid dan sekaligus seorang khalifah Ya’qub al-Charki, yaitu Syaikh Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar as-Samarqandi (w 1490) yang kemudian menjadi penerus kemursyidan tarekat Naqsyabandi generasi ketiga Syaikh Baha’ al-Din.
Berbagai refrensi dan buku-buku sejarah tarekat Naqsyabandi ini, Syaikh Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar telah merubah sebuah paradikma klasik yang meng-identikkan kesufian dan kemiskinan. Ia adalah simbul seorang Mistikus Islam yang sangat amat kaya. Pemilik 3.300 perkampungan (mazra’ah) dan lahan pertanian yang sangat luas. Sebuah kampung terkenal Pashaghar di samarkand adalah miliknya, dan dalam perniagaannya di bantu oleh tiga ribu buruh dan tiga ribu pasang kerbau untuk mengairi lahan pertaniannya. Delapan ribu maund gandum di serahkan kepada sultan Ahmad Mirza sebagai pajak tanah pertanian setiap tahun.
Syaikh Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar sebaga mursyid ke 18, dalam suksesi kemursidan. Pada masa kepemimpinannya, Tarekat Naqsyabandi telah tersebar dan menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tengah meluas ke Turki dan India. Kemudian telah berdiri beberapa pusat perkumpulan (cabang), seperti China, Chiva, Taskend, Harrat, Bukhara, Iran, Afganistan, Turkistan, Khogan, Baluchistan, Iraq, India.
Pada periode ini, Tarekat Naqsyabandi mencapai puncaknya ketika suksesi kemursidan di pegang oleh Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi (w 1624) sebagai mursyid ke 23. Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi adalah seorang Teolog terkemuka di Dunia dan pemikir yang berilyan. Ia adalah murid kesayangan karena kecerdasannya, kesuhudan dan keshalehannya, dan di hormati karena ketinggian Ilmunya dan pemikirannya yang sangat cemerlang dari seorang guru sufi besar, al-Qutub Syaikh Muhammad Baqi Billah (w 1603) mursyid ke 22 Tarekat Naqsyabandi yang bermukin di India.
Dibawah kepemimpinan Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi, Tarekat Naqsyabandi telah tersebar ke berbagai penjuru Dunia Islam dan di ikuti oleh banyak pengikut. Pada masa itu pula telah berdiri beberapa tempat pusat kegiatan berupa kangah-kangah, seperti di Jabal Abu Qubais Arab, Yaman, Damaskus, Mesir, Spanyol, Bagdad, Afrika dan Amerika Utara. Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi tidak hanya seorang guru sufi besar akan tetapi juga seorang Mujaddid. Dan pemikirannya tidak hanya di akui oleh dunia Islam akan tetapi juga oleh para orientalis barat, katab-kitab karanganya telah menjadi rujukan Ilmu-ilmu Filsafat dan Sosial. Demikian juga para mursyid-mursyid berikutnya, setiap zaman, setiap masa, para mursyid sebagai ahli silsilah di Tarekat Naqsyabandi senantiasa memiliki keahlian-keahlian yang berbeda sesuai dengan kondisi zaman.
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
________________________________________
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

III.15. SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH (hal. 181)
oleh KH Ali Yafie

Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim.
Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai
antara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata
tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu
sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata
thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan
terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak
mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya
menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada
baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu
sendiri.

Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka
adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di
tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok
formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi),
sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits
dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu
kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan
lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan
seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu
pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.

Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari
prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya
merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran
agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun
mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan
beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk
mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi
lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada
kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan
berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah
angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak
perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad
itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga
di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,
seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu
satu malam" dimasa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada
masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi
mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang
dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya
penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan
prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan
pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga
abad -dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf- terjadilah
pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya
para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.

Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola
pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli
haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak
pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan
tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:

1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara
berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang
formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,
para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran
Islam.

2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para
ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan
diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan
teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah
al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal
dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu
dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.

3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan
syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata,
kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas
dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka
sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.

4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai
perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur
dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan
alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).

Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli
syari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar
akhir abad kelima Hijrah, dan Imam Ghazali berupaya
memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan
karya besarnya Ihya 'Ulum al-Din. Dalam buku ini beliau
mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori
haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam
merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli
haqiqah.

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat
lembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal
kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat
Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam
satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah
lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut
dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu
lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahl
al-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan,
pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi
tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan
Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya
ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu
merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak
mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan
suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita
mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq
al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf
Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul
Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran
tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang
mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa.
Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat
Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat
ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal
al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi
baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana
dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang
mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan
dunia Islam bagian Timur pada umumnya.

Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat
Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin
militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan
perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia,
Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya
membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim
yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai
Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa
sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem
hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat
yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam
disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut
walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa
ciri yang menyamakan:

1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi
penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan
diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu
menjalani masa persiapan yang berat.

2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)

3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi
dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa
hari (kadang-kadang sampai 40 hari).

4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam
waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan
alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat
membina konsentrasi ingatan.

5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka
yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang
berlaku di luar kebiasaan.

6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau
pembantunya yang tidak bisa dibantah

Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan,
bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang
terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan
solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi
dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja,
tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah
yang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan
penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk
mencapai ma'rifah.

Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka
ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam
wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik
pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid,
yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan
melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu
selain Allah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa
'l-Da'wah fi 'l-lslam.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam
Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din
Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.
Kamil Mushthafa al-Syibli,
al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'